Berita Terbaru

02 Aug 2006

Industri gula terpadu hadapi jalan 'terjal'

Industri gula terpadu hadapi jalan 'terjal'
Keinginan masyarakat Banyuwangi membangun industri gula terpadu di Desa Seneporejo, Kec. Siliragung, Kab. Banyuwangi, sudah mantap. Itu tercermin dalam pertemuan antara Bupati Banyuwangi Ratna Ani Lestari, para pejabat Pemkab dan wakil masyarakat Banyuwangi dan konsorsium investor (PTPN XI, PT Mitra Tani Sejahtera dan Asosiasi Petani Tebu rakyat Indonesia/APTRI) di Glenmore, Banyuwangi, 24 Juli 2006.

Dalam pertemuan itu, Ratna meminta agar proyek itu segera direalisasikan. "Kalau bisa dipercepat. Masyarakat Banyuwangi sudah menunggu realisasi proyek ini," katanya. Dalam rencana, pabrik berkapasitas giling 5.000 ton tebu per hari dengan investasi sekitar Rp750 miliar, dibangun pada 2007 dan masa giling perdana 2009.

 

Mungkin dia merasa jengah. Dari beberapa kali pertemuan yang membahas rencana proyek itu, belum terlihat tanda-tanda kepastian. "Kami melihat perkembangannya lamban, dipercepat saja. Termasuk penyelesaian persoalan yang menjadi hambatan."

 

Apalagi Pemkab Banyuwangi pun telah menyediakan fasilitas perkantoran baru di Jl. Agus Salim dan melakukan penanaman perdana tebu di atas lahan 16,9 hektare (ha) sebagai pilot project di desa Tulungrejo, Kec. Glenmore.

 

Seperti dikatakan Basuki Adjibrata, Dirut PTPN XI Basuki, proyek terpadu itu akan menambah produksi gula dari Jatim sekitar 53.000 ton atau sekitar 5% dari total produksi gula Jatim yang tahun lalu mencapai 1,05 juta ton. "Hasil itu selain memperkokoh posisi Jatim sebagai lumbung gula nasional, mempercepat pencapaian program swasembada gula nasional, yang ditargetkan 2009."

 

Berdasarkan rencana yang dipaparkan PTPN XI, proyek itu juga akan memproduksi ethanol 30 juta liter per tahun untuk bahan baku bahan bakar nabati (biofuel) dan pulp. Bahkan industri yang akan dibangun PTPN XI bersama konsorsium-PT Mitra Tani Sejahtera (MTS), Asosiasi Petani tebu Rakyat Indonesia (APTRI) pimpinan Arum Sabil-sudah mengantungi izin prinsip dari Kantor Menneg BUMN sejak 23 Maret 2006 dan akan menyerap tenaga kerja 15.000 orang itu.

 

Namun, hingga kini masih tertatih-tatih. Ternyata, upaya mempercepat realisasi rencana itu tak semudah membuang air liur ke tanah. Rencana itu menghadapi kendala. Basuki Adjibrata dan Agus D. Pakpahan, Deputi Menneg BUMN --yang hadir dalam pertemuan itu-mengatakan kendala utama soal ketersediaan 5.000 ha lahan yang dijanjikan Perum Perhutani tapi hingga kini belum ada. Belum lagi karena bersifat industri terpadu, membutuhkan lahan 50.000 hektare.

 

Apalagi, dari hasil pertemuan dengan Perhutani, seperti yang dipaparkan Agus Pakpahan dan Basuki Adjibrata, ketersediaan lahan masih diproses. Bahkan, menurut Sondang Gultom, Direktur Umum Perum Perhutani, soal kerja sama pemanfaatan lahan hutan Perhutani, hingga kini belum ada kesepakatan apapun dengan PTPN XI.

 

"Lagian, di Banyuwangi, Perhutani tak punya lahan seluas itu. Lahan kami yang memenuhi standar 500 ha dan lahan miring 1.500 ha."

 

Lahan hutan yang dikelola Perum Perhutani, kata dia, statusnya milik Dephut. "Jadi harus izin Menhut. Harus ada pembicaraan setingkat menteri dan SKB [surat keputusan bersama]."

 

Status HGU

 

Menurut Adig Suwandi, Wakil Sekjen Ikatan Ahli Gula Indonesia (Ikagi), lahan faktor penentu beroperasinya industri itu, karena menyangkut pasokan bahan baku. Untuk memenuhi pasokan tebu 5.000 ton per hari, dibutuhkan lahan 2.500 ha hingga 3.000 ha dengan status Hak Guna Usaha (HGU). Termasuk untuk lahan percobaan dan serta pengembangan bibit tebu. "Selebihnya, 2.500 ha, bisa dimanfaatkan tebu rakyat."

 

Proyek ini juga dihadapkan pada sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang mengesankan kurang mendukung proyek itu. Dalam rapat koordinasi dengan seluruh wali kota/bupati se Jatim --yang membahas pengembangan bahan baku nabati (biofuel), ketahanan pangan serta pemberantasan buta aksara di gedung Negara Grahadi pada 13 Juli-Gubernur Imam Utomo mengatakan SBY melarang pengembangan tanaman tebu di Banyuwangi. "Berpotensi mengurangi produksi padi."

 

Produksi padi di Jatim setiap tahun memang surplus hingga dua juta ton beras. Tapi jika terjadi konversi lahan padi di Banyuwangi mencapai ribuan hektare, maka produksi dan pasokan pangan secara nasional, akan berkurang. "Banyuwangi dan Jatim itu lumbung pangan nasional. Pengurangan pasokan dari daerah itu memengaruhi keseimbangan pasokan pangan nasional."

 

Belum lagi adanya ancaman terhadap kelangsungan proyek terkait dengan rencana pergantian direksi PTPN XI secara serentak bersama-sama direksi BUMN lain dalam waktu dekat.

 

Adig Suwandi mengakui semua kendala yang bisa mengganjal proyek itu. "Ini tantangan para investor untuk menuntaskan. Proyek ini pertaruhan bagi investor, terutama PTPN XI. Apalagi masyarakat Banyuwangi berharap proyek segera diwujudkan."

 

Siap mempercepat

 

Basuki berjanji mempercepat realisasi proyek itu berdasarkan peraturan. Tapi tidak semudah membalikkan telapak tangan. Proyek ini, selain membutuhkan lahan 5.000 ha, melibatkan banyak pihak. Selain konsorsium investor-PTPN XI, PT Mitra Tani Sejahtera dan Asosiasi Petani Tebu rakyat Indonesia (APTRI)-ada Perum Perhutani (penyedia lahan), PTPN XIV (pemilik mesin yang akan digunakan dalam proyek tersebut) dan Bank BRI, penyalur kredit.

 

Apalagi, lanjut dia, masih ada beberapa tahapan lain yang harus dilakukan untuk mewujudkan proyek tersebut. Yaitu uji kelayakan (feasibility study/FS) ulang, perjanjian kerja sama antar pihak terkait, pembentukan badan usaha atau anak perusahaan hingga pelaksanaan. "Tapi kami berupaya semua proses yang terkait dengan peraturan investasi dapat tuntas tahun ini, sehingga 2007 pabrik sudah dapat dibangun."

 

Menyangkut sikap pemerintah yang melarang konversi lahan padi ke tebu, Adig menuturkan, bisa diatasi. Perluasan areal untuk tanaman padi ke luar kawasan sentra produksi yang ada. "Tapi untuk mewujudkan itu tidak mudah. Namun, bagaimanapun itulah tugas pemerintah."

 

Apalagi, kata dia, petani tidak bisa dilarang menentukan jenis tanaman yang akan dibudidayakan dan itu dijamin Undang-Undang (UU) No.12/ 1992 tentang Kebebasan Memilih Komoditas Pertanian.

 

Komoditas tebu memberikan petani meraih pendapatan yang baik dibandingkan padi. Tebu juga bisa dijadikan komoditas untuk perbaikan kualitas lahan melalui rotasi tanaman. "Kita doakan, semoga cepat," kata Basuki Adjibrata.

 

Sumber: Bisnis Indonesia

Logo KPBN

Contact Us

Jl. Cut Meutia NO. 11, RT. 13, RW. 05, Cikini, Menteng, Kota Jakarta Pusat, DKI Jakarta. Kode Pos. 10330

(021)3106685, (021)3907554 (Hunting)

humas@inacom.co.id

PT. Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara

Social Media

© Inacom. All Rights Reserved.