Ekspor Sarung Tangan Karet Terus Naik
Ekspor sarung tangan karet Indonesia terus meningkat sejak tahun 2003, rata-rata 20 persen per tahun. Hal ini merupakan fenomena global di mana bertumbuhnya pasar di Asia dan Afrika telah memperluas pasar sarung tangan karet dunia yang selama ini terkonsentrasi di Amerika Serikat dan Eropa.
`Tahun 2005 saja nilai ekspor sarung tangan karet Indonesia mencapai 200 juta dollar AS, naik sekitar 50 juta dollar AS dari tahun 2004. Tren kenaikan ini akan terus terjadi karena volume kebutuhan dunia sampai 100 miliar pasang setahun,` kata Ketua Umum Asosiasi Sarung Tangan Karet ASEAN Henry Tong yang dihubungi dari Jakarta, Selasa (6/6).
Tingginya kebutuhan dunia berbanding lurus dengan tingkat produksi sarung tangan karet yang sebagian besar berada di Asia Tenggara, yaitu Malaysia, Indonesia, dan Thailand.
Ketiga negara itu menguasai hampir 95 persen pasar sarung tangan karet dunia.
Sampai sekarang pembeli terbesar sarung tangan karet masih Amerika Serikat dengan pangsa pasar sekitar 50 persen dari kebutuhan dunia. Sementara itu, pembeli Eropa sekitar 30 persen dan sisanya 20 persen dibagi rata di negara-negara Asia dan Afrika.
Perkembangan pasar sarung tangan karet dunia terbilang sangat pesat sebagai produk industri hilir komoditas karet alam. Industri tersebut kini merupakan industri berbahan baku karet alam terbesar kedua setelah industri otomotif.
Henry memperkirakan, dalam sepuluh tahun ke depan kebutuhan dunia bisa mencapai 500 miliar pasang sarung tangan karet. Kenaikan ini berdasarkan tren semakin tingginya kesadaran negara-negara Asia dan Afrika untuk memakai sarung tangan karet.
Target 2006
Henry optimistis ekspor sarung tangan karet Indonesia tahun ini akan naik. Dia memperkirakan, nilai ekspor Indonesia tahun 2006 akan melebihi 250 juta dollar AS.
`Pertumbuhan permintaan di negara importir nontradisional seperti China, India, dan Afrika sangat signifikan dan terus bertumbuh. Artinya, peluang pasar semakin terbuka dan volume ekspor bisa terus ditingkatkan,` kata Henry.
Negara-negara tersebut pada awalnya hanya mengimpor sarung tangan karet kelas dua, namun kini mereka sudah mulai memakai sarung tangan yang lebih baik kualitasnya. Mereka kini terus meningkatkan konsumsinya hingga pertumbuhan pasar mencapai 20 persen.
Jaminan gas
Meskipun permintaan pasar cukup tinggi, industri sarung tangan karet Indonesia tetap kesulitan menaikkan kapasitas produksinya. Pasalnya, pengusaha sulit mendapatkan jaminan pasokan gas.
Dari kebutuhan gas 300.000 meter kubik per bulan, pengusaha hanya bisa mendapatkan sekitar 70.000 meter kubik. Akibatnya, pengusaha harus menambah investasi untuk mengonversi pabrik berbahan bakar gas menjadi bahan bakar batu bara.
`Seperti di Medan, saat pengusaha berinvestasi lagi untuk menambah kapasitas sepuluh pabrik di sana tahun 2003, tidak ada pemberitahuan apa pun. Begitu pabrik siap beroperasi, ternyata gasnya tidak ada,` keluh Henry Tong.
Sumber: Kompas