Kopi Tak Lagi Jadi Andalan
Kisah kopi sebagai primadona komoditas perkebunan di Kota Pagaralam dan Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan, tinggal kenangan. Harga yang tak menentu dan cenderung anjlok sejak enam tahun ini menyebabkan komoditas itu tak lagi jadi andalan para petani. Bahkan, bagi sebagian petani, tanaman kopi tua yang sudah tak produktif lagi menjadi beban yang tak berkesudahan.
`Sekarang ini sulit sekali menggantungkan hidup dari satu-dua hektar kebun kopi. Petani harus pintar mencari kerja tambahan lain biar asap dapur tetap ngebul,` kata Herman (50), seorang petani kopi, Minggu (23/7) siang.
Sambil berbicara, lelaki itu menunjuk kebun kopi miliknya di kaki Gunung Dempo, Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, Pagaralam. Kondisi kebun kopi itu memang memprihatinkan. Dari sekitar 3.500 batang tanaman kopi di lahan seluas satu hektar itu, hanya sebagian yang berbunga atau berbuah. Itu pun bunganya pucat, sedangkan buahnya kecil-keci.
`Tahun 1980-an sampai dengan akhir 1990-an, satu hektar kebun ini bisa menghasilkan sampai dua ton biji kopi kering. Awal tahun 2000-an, tinggal satu ton kopi kering. Tahun 2006 hasilnya hanya 1,5 kuintal kopi kering,` katanya.
Produksi kopi itu anjlok karena tanaman itu sudah tua, berusia lebih dari 20 tahun. Apalagi pemeliharaan dan pemupukan kurang. Hujan abu dari Gunung Dempo yang mengguyur kebun kopi itu, Sabtu (15/7), menyebabkan produksi makin anjlok. Abu yang mengandung belerang itu merontokkan banyak bunga dan buah muda. Sebagian daun kopi menguning, bahkan mengering.
Idham (40), petani kopi dari Desa Tanjung Raya, Kecamatan Pendopo, Lahat, juga mengeluhkan produksi satu hektar kebun kopi miliknya. Sejak harga kopi berangsur melorot tahun 2000, tanamannya sudah jarang dipelihara lagi sehingga kebunnya hampir jadi semak belukar. Tahun 2006 dia hanya memanen sekitar 100 kilogram kopi kering.
`Jika harga kopi Rp 8.500 per kg, hasil panen kopi setahun sekali hanya Rp 850.000. Itu sangat kecil untuk memenuhi kebutuhan keluarga di tengah harga kebutuhan yang mahal,` katanya.
Hingga kini cerita petani kopi di Sumsel belum bergeser dari kisah muram permainan harga yang melibatkan mata rantai panjang, mulai dari pedagang pengumpul, pedagang besar, tengkulak, hingga eksportir. Permainan itu pun masih memakai pola lama, harga kopi ditekan serendah mungkin di tingkat petani demi keuntungan pedagang.
Saat pasokan melimpah pada musim panen, harga kopi menurun. Tetapi, harga itu naik lagi saat pasokan berkurang pada akhir musim panen. Fluktuasi harga yang dipengaruhi pasar dunia itu masih tak terjangkau oleh petani. Tahun 1997-1998 harga kopi kering mencapai Rp 25.000 per kg. Tahun 2002, harganya anjlok jadi Rp 3.000 per kg. Tahun 2006, harganya relatif membaik, Rp 8.500 per kg. Tapi, saat harga membaik, produksi kopi justru menurun drastis.
`Tapi nanti, giliran kami memelihara kopi dan hasilnya banyak serta bagus, bisa jadi harganya malah turun lagi,` kata Fauzan (27), petani kopi asal Desa Ujung Alih, Kecamatan Tebing Tinggi, Lahat.
Sumber: Kompas