50% Kontrak kakao RI beralih gunakan CAA
Sedikitnya 50% kontrak dagang kakao Indonesia atau sekitar 200.000 ton beralih menggunakan standar kontrak CAA (Cocoa Association Asia), yang akan diberlakukan selambatnya 6 bulan mendatang.
Penggunaan standar kontrak CAA itu, menurut Zulhefi Sikumbang, Sekjen DPP Askindo, akan menguntungkan pedagang, eksportir dan industri pengolahan kakao Indonesia.
Hal ini karena Indonesia dapat memanfaatkan pengadilan (arbitrase) di Singapura jika terjadi default, dan punya peluang untuk memenangkan perselisihan dagang tersebut.
Selain itu, ongkos yang ditanggung eksportir dan industri kakao lebih murah dibandingkan biaya perkara di London. Indonesia juga berpeluang menjadi saksi langsung di tingkat arbitrase di Singapura, karena selama ini hanya memercayakan kepada wakil pengacara dagang di London, dan rata-rata kalah.
Selama ini, lanjutnya, kontrak dagang pedagang/eksportir dan pabrikan kakao mayoritas (60%) menggunakan standar kontrak Liffe London. Hal ini, karena sebagian besar ekspor biji kakao dan produk kakao melalui Singapura dan Malaysia, yang menggunakan standar kontrak Liffe London. Sedangkan, sekitar 30% menggunakan standar kontrak CMA (New York), AS.
`Standar kontrak CAA disusun dalam 2-3 bulan ini, dan draft-nya sudah diserahkan kepada pengacara (notaris). Selanjutnya akan diserahkan ke badan arbitrase di Singapura, dan diharapkan berlaku dalam kurun 6 bulan mendatang,` katanya, menjelaskan salah satu hasil pertemuan CAA ke-4 di Vietnam 18-19 Juli 2006.
Dengan pemberlakuan standar kontrak itu, eksportir dan pabrikan kakao Indonesia tidak perlu lagi menggunakan standar Liffe London, jika memperdagangkan komoditas itu via Singapura dan Malaysia.
Penyusunan draft kontrak CAA itu, juga merupakan tindak lanjut dari Asean Cocoa Club (beranggotakan pemerintah) pada sidang terakhir.
Selain adanya sistem kontrak perdagangan Asia yang sama dengan persetujuan pemerintah anggota CAA, sehingga semua pedagang dan pabrikan harus hati-hati dengan pemberlakuan kontrak itu.
Antargudang
Zulhefi menjelaskan selain adanya pilihan baru bagi kepentingan kontrak dagang kakao di Asia, kontrak CAA memungkinkan terjadinya kontrak antargudang. Artinya, kontrak dagang bisa di-endorse di tingkat gudang.
`Inilah yang juga membedakan dengan kontrak standar Liffe, karena kontrak hanya bisa dilakukan di tingkat FoB (freight on board),` ungkapnya.
Keberadaan standar yang ada di CAA, juga sangat penting bagi pedagang/eksportir dan industri kakao. Selama ini masing-masing sangat tertutup. Kini, lanjutnya, mereka dituntut untuk saling terbuka, atau bermitra yang saling menguntungkan.
Tetapi, keberadaan kontrak standar CAA itu tidak secara otomatis akan mendongkrak volume ekspor Indonesia.
Hal ini karena tergantung juga kapasitas daya serap pabrik pengolahan dalam negeri. Dengan daya serap yang hanya 60% dari total kapasitas terpasang, pedagang lebih memilih ekspor biji kakao.
Sumber: Bisnis Indonesia