07 Feb 2005
Setelah membangun merek Sari Wangi dan menjualnya ke Unilever, sang jagoan teh celup ini kembali siap bertarung dengan membangun merek baru, Sedap Wangi.
Semerbak wangi teh menyeruak dari pabrik seluas 1,5 hektare yang berlokasi di Jalan Mezedes Benz 288, Gunung Putri,
Nama pabrik teh tersebut adalah PT Sari Wangi A.E.A. Nama ini tentu mengingatkan kita pada merek teh celup Sari Wangi yang kini menguasai 70%-80% pangsa pasar teh celup di Indonesia. Memang, perusahaan inilah yang melahirkan merek yang kini dipegang PT Unilever Indonesia Tbk. itu.
Di balik kisah sukses Sari Wangi, ada nama besar tapi tak banyak dikenal orang, yakni J.A. Supit. Bahkan, orang inilah yang mengenalkan istilah teh celup. ?Saya cari istilah yang familiar dulu, tidak mungkin
Bagaimana ceritanya hingga merek Sari Wangi bisa jatuh ke tangan Unilever? Ceritanya cukup panjang. Sekadar menengok ke belakang, Supit bukanlah orang baru di percaturan pasar teh dunia. Sewaktu bekerja di Pamanukan & Tjiasem Land (P & T Land) yang merupakan agen dari perkebunan-perkebunan anglo Indonesia, ia sempat dikirim ke London untuk memperdalam ilmu tentang perdagangan dan cara meramu teh. Namun, pada 1961 ia terpaksa pulang ke
Tentu saja hal itu tak berlangsung lama. Keahlian yang didapat dari
Honor yang didapatnya lalu dikumpulkan, hingga pada 1964 ia bisa mendirikan CV Sari Wangi, yang menjadi perantara para pedagang teh yang ingin menjual produk mereka ke luar negeri (Amerika, Inggris dan Australia) dengan menggunakan jaringan yang dikenalnya semasa ia belajar di London. ?Modalnya hanya kepercayaan, tanpa jaminan atau bayaran apa pun,? katanya. Komisi yang didapat dari para pedagang ini dikumpulkan lagi untuk membesarkan bisnisnya hingga penjadi perseroan terbatas (PT).
Bersamaan dengan itu, perusahaan global seperti Unilever lagi gencar-gencarnya mengambil alih perusahaan-perusahaan teh dunia seperti Busells di Australia, Brugbon di Inggris, juga Lipton Tea. ?Relasi saya jadi lebih kecil sebab sudah diambil alih,? tutur Supit. Akibatnya, pasar luar negeri buat para produsen teh
Untuk membuat kantong teh celup dibutuhkan mesin khusus. Kebetulan Tetre Tea, pemain teh dunia yang besar saat itu, belum membayar komisi Supit. Maka, ia minta dibayar dengan mesin mereka yang sudah tidak terpakai, harganya sekitar 1.000 pound. Hanya dengan satu mesin, teh celup yang diberi merek Sari Wangi diproduksi di pabriknya yang pertama, di Gedung Panjang, daerah
Mengingat cara minum teh dengan tea bag ini masih baru, Supit mulai melakukan edukasi dengan mengerahkan para tenaga penjualnya. Ada yang menjajakan di Pasar Cikini, ada juga door to door marketing dengan sales girls yang memeragakan bagaimana minum teh celup yang benar di acara arisan ibu-ibu. Hotel Indonesia merupakan pelanggan korporat pertama teh celup Sari Wangi. ?Ordernya masih kecil. Kebutuhan teh di hotel kan tidak terlalu besar, tapi nama Sari Wangi mulai dikenal,? tutur penggemar olah raga berkuda ini.
Untuk menambah kapasitas produksi, Supit membeli mesin baru dari keuntungan yang didapatnya. Tiga mesin yang lebih modern dibeli bekas dari
Agar fokus, Supit menyerahkan pengelolaan pasar dalam negeri pada teman lamanya, Zakir, yang berpengalaman di perkebunan teh juga dan sampai sekarang masih bekerja di PT SW. Karena mesin-mesin dibeli dari luar negeri, maka kalau ada kerusakan, PT SW harus memanggil teknisi dari luar. Zakir lalu menyarankan untuk membangun departemen teknik yang menangani setiap kerusakan mesin dengan menggunakan anak-anak muda lulusan tehnik dari dalam negeri untuk mempelajari mesin yang ada.
Dengan mempunyai bengkel sendiri, produksi dan penjualan mulai lancar. Bahkan, pada 1978 para teknisi tersebut bisa membuat mesin sendiri setelah mempelajari mesin yang ada. Hingga sebelum merek teh celup Sari Wangi diambil Unilever, mesin rancangan sendiri itu ada 14 unit. Hanya saja, teknologi teh celup makin meningkat. Maka, ia memutuskan membeli dua mesin modern baru dari Italia.
Semua investasi kami diambil dari pendapatan, tanpa pinjaman,? imbuh Supit. Ia memang sangat konservatif dalam investasi. Dia hanya mau pinjam bank untuk modal kerja, yang diputar terus, sehingga ada hasilnya untuk pengembalian.
Namun, usahanya mengembangkan pasar teh celup tidak bisa maksimal. Pasalnya, kategori baru teh ini memerlukan dana besar untuk biaya pemasaran dan promosi. Ketika Unilever tertarik membeli perusahaannya, Supit berpikir keras, apa yang sebaiknya dilakukan. Selama setahun ia memikirkan tawaran dari Unilever itu. Akhirnya, ia memutuskan menjual merek teh celup Sari Wanginya saja. ?Saya tidak mau jual perusahaannya. Kalau Unilever tidak mau, mereka boleh berhadapan dengan saya di pasar,? ujarnya mengenang ucapannya waktu itu (1989). Berapa perusahaannya ditawar Unilever, kakek 10 cucu ini menolak menyebut angkanya. ?Pokoknya, menggiurkan,? ucapnya.
Unilever tak punya jalan lain selain menerima tawaran Supit. Maka, Unilever pun mengenjot merek Sari Wangi bersama Lipton Tea, merek teh yang telah dimiliki sebelumnya. Multinasional ini memang lebih memilih mengelola merek yang sudah lebih dulu dikenal pasar. Ini dibenarkan Ashok Mittal, Kepala Unit Bisnis Divisi Makanan PT Unilever
Dalam pemikiran Supit pula, dengan menjual mereknya saja, Unilever diharapkan mampu membuka lebar-lebar pasar teh celup di
Yang jelas, dari hasil penjualan merek itu, Supit bisa mengembangkan pasar teh curah luar negeri lebih luas, termasuk membeli pabrik di Citeureup,
Setelah habis masa kontrak (2002), ia pun tanpa ragu mengambil ancang-ancang untuk kembali ke pasar lokal. ?Otomatis, tanpa harus minta izin ke Unilever,
Di mata konsultan pemasaran Godo Tjahjono, langkah awal strategi pemasaran tersebut kurang sistematis. Namun, Godo buru-buru memakluminya karena perusahaan dengan 1.400 karyawan itu baru kembali lagi memasuki pasar lokal dengan merek sendiri lagi, setelah 12 tahun absen. Ini disimpulkan dari survei konsumen yang dilakukan Godo, yang saat ini menjadi konsultan pemasaran PT SW. Dari survei itu ditemukan, konsumen ternyata bingung, mengapa ada merek sama -- Sedap Wangi -- tapi harga dan kualitasnya berbeda.
Hadirnya merek sendiri membuat pekerjaan baru bagi Departemen Pemasaran PT SW, yaitu menggarap pasar lokal. Selain tetap mengembangkan pasar teh curah ke luar negeri. Untuk kerja besar ini, Supit menarik direktur pemasaran baru yang tak lain putra satu-satunya. Walau belum resmi diluncurkan, teh celup Sedap Wangi sudah dapat ditemui di pasar, terutama di pasar tradisional.
Secara resmi, teh celup Sedap Wangi baru akan diluncurkan tahun depan dengan kapasitas produksi 250-300 ton teh. Menurut Godo, keahlian PT SW meramu teh bisa menjadi keunggulan kompetitifnya. Untuk mendapatkan rasa teh tertentu dibutuhkan teh yang dihasilkan dari beberapa ketinggian tertentu. Akan tetapi, pasokan teh dari ketinggian tertentu belum tentu konsisten. Nah, dikatakan Godo, PT SW punya keahlian meramu agar citarasa tehnya konsisten.
Menurut Supit, pasar institusi akan menjadi fokus pasar teh celupnya. ?Tetapi, mass market tetap digarap dengan komposisi yang besar juga,? lanjutnya. Pasar teh celup hanya Rp 300 miliar, sedangkan total pasar teh sekitar Rp 2 triliun. Menurut Godo, PT SW akan berat jika hanya masuk pasar di teh celup karena berhadapan langsung dengan Sari Wangi yang mereknya kuat sekali setelah digarap Unilever. Terlebih, dari harga tidak begitu berbeda.
Untuk mengetahui selera pasar, Godo menyurvei 100 responden di Jabotabek. Kalau ditanya rasa teh celup itu seperti apa, jawaban responden selalu teh celup Sari Wangi. Namun, ketika dilakukan blind test rasa (tanpa merek), ternyata teh Sedap Wangi lebih banyak dipilih responden karena menurut mereka rasanya lebih enak. ?Cukup mengejutkan,? ujar Godo.
Meskipun begitu, Ashok tidak melihat peluncuran Sedap Wangi sebagai ancaman bagi Sari Wangi. ?Malah sebaliknya, kami menyambut gembira persaingan yang terorganisasi dan sehat dalam bisnis teh celup, karena membuka market size yang lebih besar dengan semakin banyaknya konsumen yang beralih dari teh kemasan atau packet tea ke tea bag,? paparnya.
Godo melihat, para penikmat teh celup di negeri ini bukanlah orang yang punya ekspektasi terhadap product enjoyment, sehingga mereka lebih terpaku pada merek tertentu yang sudah terkenal seperti Sari Wangi. Namun, ia yakin penikmat teh sejati (rasa teh yang tidak terlalu light) juga ada, yang besarnya tak lebih dari 30%. Dari temuan ini, teh celup Sedap Wangi memang diposisikan bukan untuk menantang teh celup Sari Wangi, tapi lebih menyasar orang yang mementingkan product enjoyment. ?Sedap Wangi akan create kategori baru,? tuturnya.
Hal itu dibenarkan Supit, bahwa PT SW memang tidak ingin melewati Unilever. Menyadari kelebihannya dalam meramu teh, Sedap Wangi akan lebih memenuhi citarasa teh yang diinginkan daerah-daerah. Ini sejalan dengan pemikiran Godo, bahwa bila ingin berhasil merebut pasar teh celup lokal, PT SW harus membuat ?kategori dalam kategori? dan bisa menjadi pembeda dari pemain yang sudah besar di kelas reguler. Juga, menarik pasar yang selama ini memakai teh tubruk (tradisional) menjadi pemakai teh celup.
Target selanjutnya, PT SW akan lebih menggarap pasar penikmat teh yang lebih tinggi di atas penikmat reguler. ?Saya akan masuk ke penikmat high tea,? ujar Supit. Menurut pria yang masih turun tangan meramu teh melalui komputer ini, pangsa pasar kelas atas ini belum tergarap baik. ?Launching menjadi kunci, terutama komunikasinya, jangan sampai salah, harus tepat apa yang akan disampaikan,? timpal Godo menegaskan langkah komunikasi yang akan diambil PT SW tahun depan. Di tahun pertama, menurut penilaiannya, sudah cukup bagus kalau Sedap Wangi bisa merebut 10%-15% dari penikmat teh celup yang ada.
Godo juga melihat kekuatan PT SW pada akses ke pasar luar negeri yang bagus dan punya spesifikasi produk dari grade teh terendah hingga yang tertinggi. ?Sebagai prinsipal, mereka kuat,? tuturnya. Portofolio produknya dirasa Godo sudah benar. Yakni, selain mengandalkan pasar di luar, juga menjual produknya di dalam negeri dalam bentuk komoditas (tanpa merek), serta punya merek sendiri.
Untuk pengembangan pasar ekspor, Supit mengandalkan agen-agen yang ditempatkan di hampir seluruh dunia. Agen-agen itu yang membuka kerja sama atau apa yang bisa digarap di
Perusahaan seperti Lauder dan Avon rutin memesan teh olahan SW. Starbucks juga pernah memesan pada PT SW. Olahan teh tersebut bukan hanya digunakan untuk minuman, tapi juga untuk kesehatan dan kecantikan. PT SW juga memenuhi pesanan house brand beberapa pemain dunia, antara lain Bushells (
Makin bertambahnya kebutuhan teh mendorong Supit memiliki kebun teh sendiri. Selama ini PT SW membeli bahan bakunya dari berbagai pedagang teh lokal dan perkebunan nasional. Tahun 2000, Supit pun memutuskan mengambil alih perkebunan teh milik Grup Sinar Mas di Bandung dan Sukabumi yang total luasnya sekitar 4.000 ha. Untuk upaya ini, ia meminjam sekitar US$ 4,5 juta dari Bank Mandiri. ?Saya sudah 40 tahun jadi nasabah Bank Bumi Daya yang kini melebur ke Bank Mandiri,? ujarnya.
Perkebunan itu dipegang rekannya, seorang ahli teh asal Inggris, yang dipercaya menjadi CEO anak perusahaan dengan nama PT Indo Rub itu. Walaupun anak perusahaan, ada independensi dalam hal operasional dan pendapatan. Misalnya, pabrik PT SW membutuhkan teh, kalau harganya sama, baru PT SW bisa membeli dari PT Indo Rub. Akan tetapi, kalau ada pasar lain yang menawarkan harga lebih baik, PT SW tidak bisa memaksakan kebutuhannya. ?Saya tidak setuju kalau Indo Rub digunakan hanya untuk kepentingan induk perusahaan,? imbuhnya, ?tapi Indo Rub tidak boleh diikat oleh perusahaan lain juga.?
Cara tersebut ditempuh untuk menghindari orang-orang perkebunannya enggan berusaha mencari pasar baru karena merasa pasti sudah ada yang menampung. Begitu juga dengan orang-orang di PT SW, dengan adanya perkebunan sendiri, bukan berarti penentuan harga pokok penjualan jadi rendah, melainkan tetap berpijak pada harga yang berlaku di pasar. ?Saya hanya ingin perusahaan ini bisa menggarap dari daun ke mangkuk,? kata Supit menegaskan. Selain itu, ke depan, ia ingin meningkatkan penggunaan teh untuk kepentingan yang melebar, seperti kesehatan dan farmasi, sebagai bagian perluasan pasar. (mes)
Sumber : http://www.swa.co.id
© Inacom. All Rights Reserved.