03 Jun 2004
TAP MPR No. XVI/1998 Pasal 6 menggariskan bahwa usaha besar swasta dan BUMN mempunyai hak untuk berusaha dan mengelola sumber daya alam dengan cara yang sehat dan bermitra dengan pengusaha menengah dan kecil. Pasal 7 ayat (1) menggariskan bahwa pengelolaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam lainnya harus dilaksanakan secara adil dengan menghilangkan segala bentuk pemusatan penguasaan dan pemilikan dalam rangka pengembangan kemampuan ekonomi usaha kecil, menengah dan koperasi.
Menurut Ketua Umum PERHEPI, Agus Pakpahan dengan menghayati pasal-pasal di atas, maka konsensus politik kita adalah bahwa pengelolaan perkebunan harus tunduk dan taat akan amanah tersebut. Hal ini dikarenakan tanah dan air beserta sumber daya yang menyatu dengannya, sebagai sumber daya dasar untuk usaha perkebunan, merupakan sumber daya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Agus Pakpahan mengatakan bahwa efisiensi produktivitas dan keberlanjutan adalah syarat keharusan dari suatu investasi di bidang perkebunan. Namun demikian hal tersebut belum memenuhi syarat kecukupan. Nilai keadilan merupakan nilai yang harus senantiasa diperhatikan. Keadilan merupakan prasyarat pokok dalam menjamin keberhasilan perkebunan pada abad mendatang. Nilai ini dapat berwujud berbagai bentuk atau parameter. Nilai keadilan paling tidak harus diuji berdasarkan pertanyaan berikut: (a). apakah sumber daya yang mendasari usaha perkebunan telah terdistribusi secara adil;(b) apakah usaha perkebunan telah terdistribusi secara adil; (c) apakah akses terhadap kesempatan/peluang untuk berusaha di bidang perkebunan telah terdistribusi secara adil dan (d) apakah kesempatan/peluang untuk berusaha di bidang perkebunan telah terdistribusi secara fair/adil antar generasi.
Dengan menggunakan landasan nilai ini diharapkan kita akan terbebas dari marginalisasi manusia dan masyarakat, serta mendudukkan komoditas sebagai instrumen belaka.
Sering kita lupa melihat rakyat sendiri (baca: petani, masyarakat lokal) atau bahkan mereka, baik secara sadar ataupun tidak, dikeluarkan dari proses pengambilan kebijaksanaan. Mereka dipandang bukan strategic partner atau bahkan sebagai kendala pembangunan.
Tidak jarang kita mendengar keluhan dari pengusaha apabila diminta untuk memperhatikan masyarakat. Maka terjadilah situasi seperti sekarang, konflik antara masyarakat dengan pengusaha menjadi barang tontonan sehari-hari. Diperkirakan dampak dari konflik sosial ini bukan hanya memberikan potensi kerugian yang sudah mencapai sekitar Rp. 3 trilyun, tetapi juga telah menciptakan suasana disharmonis dan telah menyebabkan korban jiwa. Sejarah konflik perkebunan terus berlanjut hingga kini. Hal ini merupakan suatu keprihatinan yang harus dihentikan.
Dalam realitas, perusahaan besar bahkan dari kelas Multi National Corporation (MNC) dewasa ini berdampingan dengan perkebunan rakyat (petani), koperasi dan usaha kecil dan menengah, serta usaha perkebunan besar. Walaupun secara luasan perkebunan rakyat merupakan yang terluas, kekuatan ekonomi riil mereka masih lemah dibandingkan dengan MNC dan perkebunan besar, khususnya dalam hal kemampuan petani mempengaruhi pasar dan akses terhadap teknologi serta informasi. Ditambah lagi, dampak pembangunan ekonomi selama ini menyisakan permasalahan ketenagakerjaan di pedesaan yang cukup parah sebagaimana ditandai oleh meningkatnya jumlah petani, khususnya petani gurem seperti diperlihatkan oleh hasil sensus pertanian tahun 1983 dan 1993.
Krisis ekonomi tentunya memperparah situasi ini. Kondisi ini mengindikasikan bahwa lahan merupakan sumber daya alam yang semakin langka. Oleh karena itu persaingan akan lahan meningkat dan inilah sebagai faktor utama yang menyebabkan konflik sosial disekitar perkebunan dewasa ini. Hal ini pula memerlukan pembaharuan dari nilai dan cara-cara lama dalam pendekatan pembangunan perkebunan di
Aspek positif dari MNC diantaranya :
Dengan kondisi perekonomian
Dalam mencari alternatif ini terlebih dahulu kita harus kembali ke landasan normatif normative knowledge yang telah menjadi pegangan kita semua yaitu UUD 1945 dan GBHN. Di samping itu kita perlu mencari landasan empiris positive knowledge yang kiranya dapat dijadikan landasan operasional dalam menentukan kebijaksanaan. Berdasarkan pengetahuan normatif dan pengetahuan positif tersebut diharapkan kita dan juga MNC dapat selalu memahami dan mencari jalan keluar yang sifatnya “win-win”, khususnya untuk kepentingan bersama dalam jangka panjang. (mes)
© Inacom. All Rights Reserved.