Berita Terbaru

14 Jun 2006

MOMENTUM EMAS KEJAYAAN KEMBALI INDUSTRI GULA INDONESIA

MOMENTUM EMAS KEJAYAAN KEMBALI INDUSTRI GULA INDONESIA

Wayan R. Susila

 

Pada lima tahun terakhir, isu yang berkaitan dengan pergulaan nasional adalah merupakan salah satu topik yang paling manis, baik untuk dijadikan topik di berbagai seminar maupun di media masa. Saking manisnya topik tersebut, hampir tidak ada hari tanpa diskusi atau pemberitaan di media masa yang berkaitan dengan pergulaan nasional. Hal ini sangat logis mengingat peran gula yang strategis, baik dari segi ekonomi, sosial, dan politik. Dengan menyediakan lapangan pekerjaan lebih dari satu juta orang dan merupakan kebutuhan pokok yang harganya secara langsung berkaitan dengan laju inflasi, isu gula selalu mengoda kalangan media masa, pemerintah, pelaku bisnis, dan akademisi.


Jauh sebelum “terperosok” menjadi salah satu negara importir gula terbesar di dunia, Indonesia pada mulanya merupakan salah satu negara eksportir gula terbesar pada era tahun 1930-an. Era tersebut boleh disebut sebagai era kejayaan industri gula Indonesia. Ketika itu, industri gula Indonesia memiliki 179 pabrik gula (PG), bandingkan dengan sekarang yang hanya tinggal kurang dari 60 PG. Dengan rendemen berkisar antara 11%-13%, produksi gula Indonesia mencapai tiga juta ton dan volume ekspor sekitar 2.4 juta ton per tahun. Kini Indonesia justru mengimpor gula dengan volume berkisar antara 1.2 – 1.5 juta ton per tahun.

 

Ada faktor internal dan eksternal yang menyebabkan penurunan kinerja industri gula Indonesia, khususnya sampai dengan tahun 2002. Kegagalan kebijakan pemerintah dalam merespon dinamika pasar gula dunia dan domestik serta inefisiensi, merupakan dua contoh faktor internal penyebab merosotnya kinerja gula Indonesia. Dari sisi eksternal, distorsi kebijakan di pasar interansional yang demikian tinggi melalui bebagai kebijakan subsidi dan proteksi, telah membuat pasar gula menjadi “berantakan”. Tingkat distorsi di pasar dunia untuk gula adalah tertinggi kedua setelah pasar beras. Sebagai akibat situasi tersebut, harga gula dunia terus menurun dan mencapai titik terendah pada tahun 1990-an. Ketika itu, harga gula dunia mencapai dibawah US$ 200/ton, jauh di bawah rata-rata biaya produksi gula dunia yang di atas US$ 300 per ton. Ketika pemerintah belum menerapkan kebijakan tataniaga impor, situasi ini membuat industri gula Indonesia di ambang kebangkrutan. Pada saat tersebut, ada 12 PG yang harus ditutup, produksi gula Indonesia turun dengan laju –2% per tahun dan impor melonjak pesat dengan laju di atas 50% per tahun.

 

Menyadari situasi suram tersebut dan adanya tekanan yang kuat dari organisasi petani (APTR), semenjak awal tahun 2000-an pemerintah secara lebih jelas mengarahkan kebijakannya untuk menyelamatkan industri gula nasional. Pemerintah meningkatkan tarif impor dari yang semula 0% menjadi Rp 550/kg untuk raw sugar dan Rp 700/kg untuk white sugar . Melalui kebijakan tataniaga impor, pemerintah tidak hanya membatasi volume impor, tetapi juga pelaku impor menjadi hanya importir produsen dan importir terdaftar. Kebijakan ini terbukti cukup efektif untuk menyelamatkan dan membangkitkan kembali industri gula Indonesia. Pada dua tahun terakhir, produksi bahkan meningkat diatas 10% per tahun. Dengan hasil yang menggembirakan ini, pemerintah mentargetkan untuk mencapai swasembada gula pada tahun 2008/2009.

 

Sejak tahun 2004, pasar gula internasional sebenarnya sudah menunjukkan suatu era kebangkitan kembali. Selama tiga tahun secara beruntun (2004-2006), pasar gula dunia mengalami defisit sehingga mendorong harga gula dunia terus meningkat. Jika pada tahun 2004 harga gula di pasar dunia masih berkisar antara US$ 200- 250 per ton, selanjutnya harga terus meningkat dan mencapai puncaknya pada awal tahun 2006 yang sudah mendekati US$ 500 per ton. Para analis memperkirakan bahwa kenaikan harga ini merupakan kecendrungan jangka panjang. Secara lebih umum, pasar gula dunia kini diyakini sedang dalam proses menuju pada keseimbangan baru.

 

Ada tiga faktor fundamental yang melandasi pemikiran bahwa pasar gula dunia menuju pada keseimbangan baru. Faktor pertama adalah keberhasilan dari Pertemuan WTO Tingkat Menteri di Hongkong pada bulan Desember 2005. Pada pertemuan tersebut disepakati bahwa semua bentuk subsidi ekspor pada sektor pertanian sudah harus dihapuskan paling lambat tahun 2013. Pengahapusan subsidi tersebtut jelas akan mengurangi kemampuan negara maju untuk mengekspor gula, khususnya Eropa Barat (EU) dan Amerika Serikat (US), yang telah terbiasa menerapkan kebijakan subsidi ekspor. Hal ini akan mendrong kenaikan harga gula di pasar interansional. Faktor kedua adalah negara maju, khususnya EU dan US, secara konsisten menghadapi tekanan untuk melakukan reformasi sektor gulanya dengan mengurangi dukungan harga, subsidi, dan proteksinya secara substansial. Hal ini terjadi baik karena faktor eksternal, seperti komitmen di WTO, maupun faktor internal seperti tekanan dari pembayar pajak, konsumen, dan biaya intervensi yang membengkak. Jika reformasi tersebut diterapkan tahun 2007 seperti yang diagendakan, maka produksi negara maju akan menurun cukup tajam. EU diperkirakan akan mengalami penurunan produksi sepertiganya dari produksi sekarang. Ke depan, situasi ini jelas akan mendorong kenaikan harga gula di pasar internasioal.

 

Faktor fundamental ketiga adalah kenaikan harga bahan bakar minyak yang bersumber dari fosil (BBM). Kecendrungan kenaikan harga BBM merupakan kecendrungan jangka panjang yang tidak dapat dihindarkan mengingat BBM merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Dalam jangka panjang, produksi akan menurun yang akan memacu kenaikan harga pada masa mendatang, bahkan diperkirakan dapat mencapai US$ 80/barrel. Jika ini benar, biofuel yang menggunakan bahan baku produk pertanian seperti tebu, akan terus berkembang. Hal ini telah ditunjukkan oleh Brazil sebagai pemimpin industri biofuel. Ketika harga BBM belum tinggi, sekitar 50% tebunya diolah menjadi gula; ketika harga BBM naik seperti sekarang, tebu yang diolah dijadikan gula diperkirakan menurun menjadi 45%, dan akan terus menurun sejalan dengan kenaikan harga BBM. Jika kecendrungan ini terus belanjut, Brazil sebagai produsen utama gula akan mengurangi produksi gula sehingga mendorong harga gula naik.

 

Jika ketiga faktor fundamental tersebut bekerja secara simultan, pasar gula dunia hampir dipastikan akan menuju pada keseimbangan baru. Keseimbangan baru tersebut dicirikan antara lain oleh sisi penawaran/produksi yang semakin ketat, peran negara produsen gula yang efisien semakin dominan, berkurangnya peran EU dan US, dan harga gula yang lebih tinggi. Sebuah studi oleh Beghin dan Aksoy (2003) memperkirakan bahwa harga gula akan naik antara 20%-40% jika terjadi penghapusan berbagai kebijakan yang distortif. Dengan perkiraan rata-rata biaya produksi gula dunia antara US$ 250 – 350 per ton, harga gula pada keseimbagan barunya diperkirakan pada kisaran US$ 300 – 400 per ton.

 

Keseimbangan baru tersebut sebenarnya merupakan berkah yang bisa menjadi momentum emas untuk kebangkitan bahkan kejayaan kembali industri gula Indonesia. Pada keseimbangan baru tersebut, Indonesia akan jauh lebih mudah dalam mencapai swasembada gula. Dengan kebijakan yang ada sekarang dan dengan kisaran harga gula antara US$ 200 – 250 per ton, produksi gula Indonesia tumbuh diatas 10% per tahun pada dua tahun terakhir. Jika kebijakan yang sekarang dipertahankan dan harga di atas US$ 300 per ton, laju pertumbuhan produksi dapat meningkat dua kali lipat. Yang lebih menarik dan menantang adalah bahwa, menjadikan Indonesia kembali sebagai negara eksportir gula pada kondisi tersebut, bukanlah merupakan mimpi kosong. Jika ini dapat diwujudkan, Indonesia dapat mengklaim diri telah mencapai era kejayaan industri gula tahap II.

 

Untuk mewujudkan impian tersebut, Indonesia harus mampu dengan cepat mengatasi berbagai masalah klasiknya yang bermuara pada inefisiensi pada tingkat usahatani, pabrik, dan distribusi. Pada tingkat usahatani, inefisiensi bersumber antara lain dari porsi tanaman keprasan yang tinggi (70%), penggunaan input yang belum optimal, dan inefisiensi pada sistem panen dan transportasi. Pada tingkat pabrik sumber masalah antara lain idle capacity PG yang relatif masih tinggi, pabrik yang sudah tua, dan sistem penentuan rendemen yang masih “bermasalah”, di samping inefisiensi pada aspek manajemen. Masalah-masalah tersebut harus diselesaikan dan pemerintah perlu secara lebih progersif menciptakan iklim bisnis dan investasi yang atraktif dan kondusif untuk perluasan industri berbasis tebu, khususnya di luar Jawa.

 

Sebagai penutup dapat disumpulkan bahwa pasar gula dunia kini sedang dalam proses menuju keseimbangan baru. Keseimbangan baru tersebut dapat menjadi momentum emas bagi kejayaan kembali industri gula Indnesia. Jika para stakeholder ingin dicatat dengan tinta emas dalam sejarah kejayaan kembali industri gula Indonesia, bertindaklah sekarang . (Penulis adalah Peneliti pada Lembaga Riset Perkebunan Indonesia, LRPI).

Sumber: ipard.com

Logo KPBN

Contact Us

Jl. Cut Meutia NO. 11, RT. 13, RW. 05, Cikini, Menteng, Kota Jakarta Pusat, DKI Jakarta. Kode Pos. 10330

(021)3106685, (021)3907554 (Hunting)

humas@inacom.co.id

PT. Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara

Social Media

© Inacom. All Rights Reserved.