30 Oct 2014
PEMERINTAHAN perlu menghentikan impor gula rafinasi demi menyelamatkan industri gula nasional. Gula rafinasi kini telah merembes ke rumah tangga dengan harga yang relatif lebih murah. Akibatnya gula lokal menumpuk di gudang karena tidak laku dipasarkan.
“Industri gula nasional kini berada dalam kondisi gawat darurat, menuntut adanya tindakan penyelamatan jangka pendek dengan menyetop impor gula rafinasi yang kini sudah merembes ke rumah tangga,” kata Ketua Umum Ikatan Ahli Gula Indonesia - IKAGI, Subiyono dalam saresehan industri gula yang bertemakan “ Prospek Industri Gula Indonesia di Era Pemerintahan baru yang diselenggarakan PT Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara, di Jakarta, Kamis, (30/10).
Subiyono mengatakan, harga gula lokal pada akhir Oktober tercatat hanya Rp7.800 per kg. Dan harga ini dinilai kurang kondusif hingga menyebabkan petani mengalami kerugian yang sangat besar. “Pabrik gula yang harga Pokok Produksi ( HPP) nya, lebih dari Rp 6000 per kg, pasti akan sangat sulit bersaing, karena harga gula di pasar international hanya sekitar Rp 4.850 per kg,” ujarnya.
Karena itu, pemerintah hendaknya segera melakukan penyelamatan industri gula nasional dengan menciptakan instrumen yang mampu mendukung terwujudnya swasembada gula. Tidak seperti sekarang ini, produsen gula lokal dibiarkan masuk ke persaingan bebas.
Target swasembada itu diyakini akan terwujud dengan sendirinya bila, pemerintah mampu melengkapi dengan sejumlah instrumen pendukunganya. Termasuk dalam hal pengendalian impor gula rafinasi dan kebijakan yang memihak petani dan produsen gula nasional. Kini terkesan bahwa pemerintah tidak berada dalamn industri gula nasional.
“Tanpa itu, bukan hanya swasembada gula yang tidak terwujud, namun industri yang kini ada tak mampu bertahan, karena itu dibutuhkan tindakan yang lebih nyata oleh Pemerintah,” ujar lagi.
Arif Budimanta, Direktur Eksekutif the Megawati Institut menegaskan, bahwa program swasembada gula suatu hal yang harus diwujudkan untuk menghindari defisit neraca perdagangan nasional. Sebab, kontribusi gula impor terhadap defisit neraca perdagangan dinilai sangat besar, mencapai US$1,7 miliar.
Kondisi ini berdampak terhadap current account, pada SBI dan juga berpengaruh pada souverring bond, bahkan juga terhadap suku bunga pinjaman. “ Jadi kita sangat membutuhkan swasembada gula ini, dan pemerintah telah menargetkan bisa terwujud dalam tempo 3 tahun kedepan,”ujarnya.
Pelaku industri gula nasional, Dirut PT Kharisman Pemasaran Bersama Nusantara, Bambang Sopedibyo mengatakan, ia mengharapkan adanya keterlibatan pemerintah sebagai fasilitator dan regulator gula, untuk melakukan tindakan penyelamatan dan pemberdayaan terhadap pelaku ekonomi lokal. Antara lain dengan pengendalian stok dan membuat regulasi tentang sparasi gula.
“Gula rafinasi hanya untuk bahan baku industri makanan dan minuman, sementara gula kristal putih yang diperoleh dari hasil penggilingan tebu untuk konsumsi langsung rumah tangga,” kata Bambang Soedibyo.
Pada 2015, kebutuhan gula nasional diperkirakan mencapai 5,89 juta ton. Dari jumlah ini, kontribusi gula nasional hanya sekitar 49 persen. Dan inipun dikhatirkan menurun, lantaran petani enggan menanam tebu, beralih pada tanaman lain yang lebih menguntungkan dan pasar yang lebih pasti.
Sumber : www.jurnas.com
--------------------------------------------
Kamis, 30 Oktober 2014
Gula Rafinasi Impor Makin Ancam Industri Domestik
Bisniscom, JAKARTA - Pemerintah diminta menghentikan impor gula rafinasi demi menyelamatkan industri gula nasional yang kini dalam kondisi gawat darurat.
Gula rafinasi kini telah merembes ke rumah tangga dengan harga yang relatif lebih murah hingga mengakibatkan gula lokal menumpuk di gudang karena tidak laku dipasarkan.
“Industri gula nasional kini berada dalam kondisi gawat darurat, menuntut adanya tindakan penyelamatan jangka pendek dengan menyetop impor gula rafinasi yang kini sudah merembes ke rumah tangga,” kata Subiyono, Ketua Umum Ikatan Ahli Gula Indonesia (Ikagi).
Dia berbicara dalam saresehan industri gula yang bertemakan Prospek Industri Gula Indonesia di Era Pemerintahan Baru yang diselenggarakan oleh PT Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara, di Jakarta, Kamis (30/10/2014).
Dalam saresehan yang dihadiri sejumlah direksi PT Perkebunan Nusantara itu, Subiyono juga mengatakan harga gula lokal pada akhir Oktober tercatat hanya Rp7.800 per kg. Dan harga ini dinilai kurang kondusif hingga menyebabkan petani mengalami kerugian yang sangat besar.
“Pabrik gula yang harga pokok produksi ( HPP)-nya, lebih dari Rp 6000 per kg, pasti akan sangat sulit bersaing, karena harga gula di pasar international hanya sekitar Rp 4.850 per kg,” tandas Direktur Utama PT Perkebunan Nusantara X itu.
Oleh karena itu, pemerintah diminta segera melakukan penyelamatan industri gula nasional dengan menciptakan instrumen yang mampu mendukung terwujudnya swasembada gula. Tidak seperti sekarang ini, produsen gula lokal dibiarkan masuk ke persaingan bebas.
Target swasembada itu diyakini akan terwujud dengan sendirinya bila, pemerintah mampu melengkapi dengan sejumlah instrumen pendukunganya. Termasuk dalam hal pengendalian impor gula rafinasi dan kebijakan yang memihak petani dan produsen gula nasional. Kini terkesan bahwa pemerintah tidak berada dalam industri gula nasional.
“Tanpa itu, bukan hanya swasembada gula yang tidak terwujud, namun industri yang kini ada tak mampu bertahan, karena itu dibutuhkan tindakan yang lebih nyata oleh Pemerintah,” katanya.
Selain Subiyono, saresehan yang dipandu oleh Jangkung Handoyo Mulyo dari Fakultas Pertanian UGM, Yogyakarta itu, juga menampilkan Arif Budimanta, Direktur Eksekutif the Megawati Institut.
Menurut Arif, program swasembada gula suatu hal yang harus diwujudkan untuk menghidari defisit neraca perdagangan nasional. Pasalnya, kontribusi gula impor terhadap defisit neraca perdagangan dinilai sangat besar, mencapai US$1,7 miliar.
Kondisi ini berdampak terhadap current account, pada SBI dan juga berpengaruh pada sovereign bond, bahkan juga terhadap suku bunga pinjaman. “ Jadi kita sangat membutuhkan swasembada gula ini, dan pemerintah telah men targetkan bisa terwujud dalam tempo 3 tahun kedepan,”ujarnya.
Sementara itu, Dirut PT Kharisman Pemasaran Bersama Nusantara, Bambang Soedibyo, mengatakan sebagai salah satu pelaku industri gula dan kepanjangan dari PT Perkebunan Nusantara, dalam bidang pemasaran komoditas perkebunan, mengharapkan adanya keterlibatan pemerintah sebagai fasilitator dan regulator gula, untuk melakukan tindakan penyelamatan dan pemberdayaan terhadap pelaku ekonomi lokal, antara lain dengan pengendalian stok dan membuat regulasi tentang separasi gula.
“Gula rafinasi hanya untuk bahan baku industri makanan dan minuman, sementara gula kristal putih yang diperoleh dari hasil penggilingan tebu untuk konsumsi langsung rumah tangga,” kata Bambang Soedibyo.
Pada 2015, kebutuhan gula nasional diperkirakan mencapai 5,89 juta ton. Dari jumlah ini, kontribusi gula nasional hanya sekitar 49 persen. Dan inipun dikhatirkan menurun, lantaran petani enggan menanam tebu, beralih pada tanaman lain yang lebih menguntungkan dan pasar yang lebih pasti. (JIBI)
Editor : Martin Sihombing
Sumer : http://m.bisnis.com/
© Inacom. All Rights Reserved.