JAKARTA – Produksi minyak sawit nasional sepanjang tahun ini mencapai 36 juta ton, atau lebih tinggi dari perkiraan semula yang hanya 35 juta ton. Kondisi cuaca yang mendukung menjadi pemicu utama membaiknya produksi minyak sawit 2017. Pada semester I-2017, produksi komoditas perkebunan tersebut telah mencapai 21 juta ton.
Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Derom Bangun memperkirakan, produksi minyak sawit mentah nasional pada Juli 2017 mencapai 3,40 juta ton. Dengan demikian, total produksi minyak sawit sepanjang Januari-Juli 2017 bisa menjadi 21,55 juta ton. "Dengan cuaca yang baik seperti Sekarang ini maka produksi Januari-Desember 2017 dapat mencapai 36 juta ton, proyeksi awal tadinya 35 juta ton,” kata Derom di Jakarta, Minggu (3/9).
Derom juga mengatakan, pertumbuhan positif produksi ditopang oleh produktivitas tanaman muda yang naik cepat, serta tanaman TBM (tanaman belum menghasilkan) yang menjadi TM (tanaman menghasilkan) memberikan kontribusi yang melebihi estimasi awal.
Sebelumnya, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyatakan, ekspor minyak sawit nasional pada semester I-2017 mencapai 16,60 juta ton, atau naik 32,80% dibanding periode sama tahun lalu yang sebesar 12,50 juta ton. Kenaikan tersebut dipicu oleh melonjaknya permintaan minyak sawit dari negara-negara tujuan utama ekspor, yakni India, Tiongkok, Uni Eropa (UE), dan Amerika Serikat, serta dari Afrika dan Bangladesh.
Ekspor tersebut itu mencakup minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan minyak inti sawit (palm kernel oil/PKO) beserta turunannya, termasuk oleokimia dan biodiesel. Sementara produksi pada semester l-2017 mencapai 18,15 juta ton, sementara pada periode sama 2016 hanya tercatat 15,30 juta ton. Data itu mencakup perhitungan dari berbagai asosiasi sawit, termasuk DMSI.
Menurut Derom, produksi minyak sawit pada Juli 2017 diyakini mencapai 3,40 juta ton, ekspor sekitar 2,10 juta ton, konsumsi domestik 800 ribu ton, dan stok berkisar 2,30 juta ton. Khusus untuk Agustus dan September, DMSI memperkirakan produksi masing-masing sebesar 3,50 dan 3,80 juta ton. “Jika pada Januari-Juli 2015 produksi 18,50 juta ton maka pada Januari-Juli 2017 menjadi 21,55 juta ton. Pada Oktober diperkirakan menurun ke 3,50 juta ton, lantas pada November dan Desember 2017 bakal menjadi lebih rendah lagi,” kata Derom.
Hanya saja, ujar Derom, bagi perkebunan yang sudah melakukan sensus persediaan buah di pohon, estimasi bisa jauh lebih akurat. “Tapi karena tidak tersedia maka kita mengambil tren dan cuaca. Saat ini, cuacanya relatif baik sehingga produksi juga membaik," kata dia.
Sementara itu, Ketua Umum Gapki Joko Supriyono mengatakan, dengan sumbangan devisa mencapai US$ 18,50 miliar setiap tahunnya maka kelapa sawit merupakan subsektor strategis bagi Indonesia. Apalagi, subsektor kelapa sawit juga menyerap lebih dari 5 juta tenaga kerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah-wilayah pinggiran. “Karena itu, kami setuju tatakelola perkebunan kelapa sawit harus berkelanjutan," jelas Joko.
Karena itulah, Joko Supriyono mewakili Gapki bakal berbicara tentang perkembangan subsektor kelapa sawit Indonesia dalam forum resmi di Markas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, Amerika Serikat, pada 6 September 2017. "Di sini, kita duduk bersama di PBB, seperti apa keberlanjutan subsektor kelapa sawit yang ingin kita capai bersama,” kata Joko.
Selain tentang aspek ekonomi, Gapki akan menjelaskan sikap dan posisi dunia usaha nasional terkait isu-isu keberlanjutan di subsektor pendulang devisa negara terbesar tersebut. "Tidak hanya berbicara secara resmi di PBB, kami juga akan melakukan sejumlah informal meeting dengan para pemangku kepentingan selama kunjungan ke Amerika Serikat ini,” kata Joko.
Dia mengatakan, kehadiran Gapki dalam pertemuan tingkat tinggi di PBB tersebut adalah atas undangan UNDP (Program Pembangunan PBB) yang menggagas diskusi tentang isu keberlanjutan di sejumlah sektor ekonomi di negara berkembang. Selama ini, negara-negara di Uni Eropa dan Amerika menyoroti tata kelola perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Di sisi lain, permintaan minyak sawit dari kedua wilayah tersebut terus meningkat. “Pada semester I-2017, ekspor ke Uni Eropa 2,7 juta ton atau meningkat 42% dari periode sama 2016,” kata Joko.
Sumber : Investor Daily