KPBN News

Pemerintah Pilih IPO ketimbang Divestasi BUMN

Pemerintah lebih memilih mendorong badan usaha milik negara melepas sahamnya ke publik (initial public offering/IPO) ketimbang mendivestasikan sahamnya sebagai upaya mewujudkan tata kelola yang baik di BUMN.
Deputi Menteri Negara BUMN Bidang Restrukturisasi dan Privatisasi Mahmudin Yasin seusai seminar tentang privatisasi BUMN di Universitas Indonesia, Depok, Rabu (3/5), menjelaskan, pemerintah mendorong IPO karena dari kegiatan itu, BUMN bersangkutan bisa mendapatkan tambahan modal untuk meningkatkan kinerja dan keuntungan.
Tidak masalah jika akhirnya porsi saham pemerintah berkurang (terdilusi). Di sisi lain, pemerintah kini cenderung menghindari penjualan obral BUMN melalui divestasi
Namun, Yasin belum bersedia menjelaskan secara rinci BUMN- BUMN yang akan IPO pada tahun 2006. Dia juga enggan menceritakan rencana pelepasan saham BNI untuk yang kedua kalinya (secondary public offering/SPO).
Selain mendorong IPO, pemerintah juga akan mengurangi jumlah BUMN. Saat ini jumlah BUMN mencapai 144 perusahaan. Menurut Yasin, jumlah tersebut akan dikurangi menjadi sekitar 80 BUMN sampai tahun 2009. Selanjutnya akan dikerucutkan lagi menjadi 25 perusahaan pada 2015. Alasannya, selama ini terbukti, hanya 20 BUMN yang berperan signifikan dalam perekonomian Indonesia.
Mengenai target dividen sebesar Rp 23,3 triliun tahun 2006, Yasin optimistis tercapai meskipun laba Bank Mandiri dan BNI anjlok drastis. Selama ini kedua bank terbesar di Indonesia itu merupakan penyumbang dividen terbesar setelah Pertamina dan Telkom. `Kekurangan dividen dari kedua bank itu akan dicari dari BUMN sektor lain,` kata Yasin.
Askrindo
Mengenai divestasi PT Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo) yang sahamnya sebesar 55 persen merupakan milik Bank Indonesia (BI), Gubernur BI Burhanuddin Abdullah mengatakan, ada beberapa opsi untuk menjual saham BI di perusahaan tersebut. `Saat ini rencana penjualan saham BI di Askrindo masih dalam proses. Waktunya kan sampai tahun 2009. Ada beberapa opsi, salah satunya mengembangkan diri bersama pemerintah daerah,` katanya.
Burhanuddin mengatakan, yang penting dalam divestasi anak perusahaan BI harus diperhatikan bahwa saham BI tidak dijual dengan harga murah. Selain itu, karena anak usaha BI merupakan perusahaan warisan, harus diperhatikan kontinuitas perusahaan tersebut.
Direktur Utama PT Askrindo Jati L Mangunsong mengatakan lebih memilih saham BI di Askrindo dibeli oleh pemerintah daerah. `Sebab, pemerintah daerah pasti akan perhatian dengan usaha kecil dan menengah di daerahnya. Jadi, kalau diserahkan ke pemerintah daerah, bisa dijamin kontinuitasnya. Selain itu, ini juga merupakan upaya risk sharing atau pembagian risiko dengan pemerintah daerah. Kalau diserahkan ke asuransi lain akan sulit sebab asuransi lain biasanya profit taker, sementara Askrindo sifatnya nonprofit,` katanya.
Direktur Asuransi Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan Departemen Keuangan Firdaus Djaelani mengatakan, kalau Askrindo dijual ke pihak swasta lain, dikhawatirkan sulit untuk mempertahankan fungsinya saat ini.Sumber: kompas