18 Jul 2006
Pembahasan krisis energi dalam rapat kabinet terbatas di Losari Cafe Plantation & Spa, Magelang, awal bulan lalu memantapkan Sumsel sebagai provinsi Lumbung Energi Nasional. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menilai provinsi Sumatra Selatan paling siap dalam pengembangan bioenergi, khususnya biodiesel.
Untuk pengembangan bioenergi, Sumsel memang dinilai paling cepat dan ditargetkan menjadi pilot project program nasional ini, kata Budi Rahardjo, Asisten Ekonomi Keuangan dan Pembangunan yang ikut mendampingi gubernur ke Magelang.
Menurut Budi, kesiapan Sumsel dapat dilihat saat paparan yang telah dilengkapi data, hasil kajian dan riset biodiesel. Bila dibandingkan dengan pemaparan provinsi lain, isi pemaparan Sumsel dianggap paling mantap.
Pembahasan masalah energi nasional itu agendanya membahas action plan dari masing-masing departemen atas masukan gubernur dari berbagai provinsi yang diundang. Termasuk memastikan kapan pengucuran dana untuk pembangunan pabrik biodiesel tersebut.
Biodiesel nanti tidak hanya dikembangkan dari crude palm oil (CPO) tetapi juga menggunakan ethanol dari tebu dan ubi karet. Bahan baku untuk keperluan itu, banyak tersedia di Sumsel.
Didik Hajar Gunadi, Direktur Lambaga Riset Perkebunan Indonesia (LPRI), mengungkapkan pendirian pabrik biodiesel terkait dengan potensi sumber energi alternatif pengganti bahan bakar minyak (BBM) yang ada di daerah. Apalagi, ketersediaan BBM sudah makin menipis.
Total kapasitas pengolahan minyak bumi dalam negeri hanya 1 juta barel per hari. Produksi BBM pada 2004 sekitar 44,5 juta kiloliter sedangkan konsumsi mencapai 62,3 juta kiloliter. Dengan kondisi ini , jika terjadi defisit BBM mencapai 17,8 kiloliter harus ditutupi dengan impor. Sedangkan kebutuhan solar secara nasional sekitar 70.000 kiloliter per hari atau sekitar 26 juta kiloliter per tahun.
Karena itu, diperlukan pengembangan energi alternatif sebagai pengganti kebutuhan BBM yang terus meningkat. Untuk Sumsel sendiri, selaras dengan program Lumbung Energi Nasional dan Pangan, akan membangun pabrik biodiesel dengan bahan baku minyak kelapa sawit yang sudah disiapkan dan potensi jarak pagar sudah dikembangkan termasuk ubi karet.
Ketersediaan bahan baku biodiesel Sumsel juga melimpah. Untuk CPO, tutur Didik, Sumsel memiliki luas kebun pada 2005 sekitar 454.065 hektare dengan jumlah produksi mencapai 1.072.538 ton per tahun. Produktivitas sekitar 3,4 ton CPO per hektare dan jumlah PKS sebanyak 47 buah kapasitas 2.214 ton per jam. Selain itu ketersediaan lahan potensial 1.350.275 hektare.
Dengan menggunakan CPO, Sumsel jelas memiliki keuntungan. Apalagi dengan produksi yang ada sudah mencapai 12 juta ton per tahun dengan target pada tahun 2010 mencapai 17,5 juta ton.
Banyak kendala
Pengembangan biodiesel sebagai pengganti bahan bakar tak terbarukan di Sumsel diyakini menghadapi banyak kendala. Di antaranya belum ada kebijakan biodiesel nasional yang mendukung. Juga keterbatasan investasi mengingat sampai sekarang belum ada investor yang melirik.
Gubernur Sumsel Syahrial Oesman mengatakan belum ada kebijakan nasional yang mengatur pemakaian biodiesel untuk bahan bakar. Misalnya, berapa kadar campuran biodiesel dengan bahan bakar tak terbarukan. Ini merupakan sesuatu yang ditunggu-tunggu. Apalagi, kepastian regulasi memang diperlukan untuk memancing minat investor dalam mengembangkan biodiesel yang merupakan energi alternatif ini.
Dengan kepercayaan Presiden menetapkan Sumsel proyek percontohan, tentu memberikan angin segar bagi semua pihak. Sehingga kendala yang ada diharapkan bisa diminimalisasi.
Menurut Kepala Dinas Perkebunan Sumatra Selatan Syamuil Chatib, kepastian regulasi dan izin mencampur minyak biodiesel pada bahan bakar, bisa meyakinkan investor untuk memulai pengembangan biodesel guna kepentingan massal.
Beberapa sumber energi terbarukan yang bisa digunakan untuk biodiesel antara lain minyak sawit, minyak jarak, dan gasohol dari tebu. Karena itu, Dinas Perkebunan berencana mengembangkan biodiesel pada 2007. Pengembangan biodiesel diharapkan dilakukan melalui kerja sama dengan Balai Penelitian Kelapa Sawit Medan yang bernaung di Lembaga Riset Perkebunan Indonesia.
Syamuil mengatakan, pembangunan pabrik biodiesel dengan kapasitas 20 ton per hari memerlukan dana sedikitnya Rp12 miliar. Agar kebutuhan dana itu terpenuhi, diperlukan kerja sama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Untuk pengembangan biodiesel dari kelapa sawit dinilai lebih potensial karena tidak memerlukan perluasan lahan mengingat luas lahan kelapa sawit di Sumsel mencapai 591.000 hektare, dengan kapasitas produksi minyak sawit mentah (CPO) 1,3 juta ton per tahun. Sementara itu, permintaan biodiesel semakin meningkat seiring permintaan dari banyak negara.
Pemerintah pusat menargetkan penggunaan biodiesel di Indonesia tahun 2025 mencapai 5% dari energi nasional. Pada 2010, penggunaan biodiesel direncanakan 0,72 juta kiloliter. Hanya saja, salah satu persoalan yang menjadi perdebatan adalah kekhawatiran pengusaha sawit bahwa pembuatan biodiesel akan mengurangi kapasitas ekspor CPO. Padahal, ekspor CPO menyumbang devisa sekitar Rp5 miliar per tahun.
Pengembangan tanaman jarak pagar di Sumsel, kata Syamuil, terkendala oleh bibit dan potensi produksi. Hingga saat ini belum ada varietas unggul tanaman jarak. Selain itu, tanaman jarak memiliki sifat racun. Penanamannya harus hati-hati dan lokasi penanaman dijauhkan dari tanaman pangan.
Produktivitas biji jarak masih tergolong rendah. Apabila dikembangkan dalam jumlah besar, petani akan cenderung rugi karena kapasitas produksi biji jarak per tahun hanya sekitar enam ton, dengan harga Rp500 per kilogram.
Lahan tidur
Sedikitnya 1,1 juta ha lahan tidur di Sumsel yang cocok untuk perkebunan kelapa sawit dan karet ataupun perkebunan lainnya. Syamuil Chatib menyatakan berdasarkan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Sumsel, kawasan yang diarahkan untuk budi daya perkebunan dan hortikultura seluas 3,2 juta ha.
"Dari jumlah potensi itu yang sudah dimanfaatkan untuk tanaman perkebunan baru seluas 1,8 juta hektare dan hortikultura sekitar 300.000 hektare," ujarnya.
Dengan pemanfaatan yang baru sebagian lahan itu terbuka peluang bagi para investor untuk mengembangkan perkebunan sawit, karet, ataupun komoditas lainnya. Kini pengalokasian lahan tidur itu sudah direncanakan seluas 600.000 hektare untuk karet, 300.000 hektare untuk karet, 25.000 hektare untuk tebu, dan sisanya 175.000 ha untuk komoditas perkebunan lainnya.
Pemerintah, lanjut Syamuil, tidak ingin pengusahaan perkebunan itu dilakukan sepenuhnya dengan monopoli. Tetapi diberdayakan oleh investor dan masyarakat dengan pola kemitraan. Diharapkan mereka menerapkan pola fifty-fifty antara investor dan masyarakat, sehingga manfaat potensi yang ada dirasakan oleh masyarakat.
Pemerintah hanya berperan sebagai fasilitator. Jadi, pengelolaannya dilaksanakan oleh masyarakat setempat sementara modalnya didapat pemerintah dari investor. Dengan pola ini pula diharapkan dapat dikembangkan perkebunan rakyat yang dapat mendukung produksi biodiesel. Baik untuk jarak ataupun perluasan kelapa sawit.
Selain itu, dari pemprov Sumsel menyebutkan saat ini tersedia sedikitnya 540.000 ha kelapa sawit yang berproduksi dan telah disiapkan lahan baru seluas 120.000 ha, sehingga total 660.000 ha lahan kelapa sawit ini khusus untuk pangan dan ekspor.
Bahkan, untuk mendukung biodisel dari CPO akan dibuka sedikitnya 90.000 ha lagi lahan kelapa sawit. Sehingga kekhawatiran pengadaan CPO untuk biodiesel akan mengganggu ekspor dan kebutuhan pangan tidak akan terjadi. Karena lahan baru ini dikhususkan untuk memproduksi CPO yang nantinya akan diolah menjadi biodisel.
© Inacom. All Rights Reserved.