08 Jan 2016
MedanBisnis - Medan. Kinerja ekspor Sumatera Utara (Sumut) terancam mengalami penurunan pada awal tahun ini menyusul harga minyak mentah dunia yang kini menyentuh level terendah. Pada perdagangan tengah pekan ini, harga minyak mentah telah berada di bawah level US$35 per barel, terendah dalam sebelas tahun terakhir.
Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Derom Bangun mengungkapkan, harga minyak mentah kini menjadi momok tersendiri bagi industri sawit Indonesia, terutama Sumut karena berpotensi menimbulkan tekanan yang signifikan. "Dengan keadaan itu, harga CPO akan sulit naik," katanya kepada MedanBisnis, Kamis (7/1).
Menurut dia, harga minyak sawit yang semula diperkirakan akan membaik pada tahun ini mungkin juga tergelincir ke arah yang lebih rendah seiring dengan dinamika global yang menekan harga minyak bumi. Masih banyak pihak yang memprediksi harga minyak sawit akan membaik ke sekitar US$700 pada kuartal kedua 2016 dengan harapan harga minyak bumi akan rebound. Namun, kondisi saat ini setidaknya membuat pengusaha sawit sedikit pesimistis.
Dalam hal ini DMSI berpendapat adanya perkembangan dinamika global seperti disebutkan di atas, membuat harga minyak bumi cenderung berada di bawah US$35 per barel. Seiring dengan itu harga CPO pun tidak akan beranjak naik diatas US$ 650 per ton. Harga minyak bumi yang tertekan ini mengakibatkan penggunaan biodiesel di negara maju yang berasal dari minyak nabati seperti rapeseed dan minyak kedelai akan berkurang. Akibatnya, dua jenis minyak nabati tersebut akan masuk ke industri makanan yang dengan sendirinya akan menekan permintaan terhadap minyak sawit.
Hal itu tentu akan sangat berdampak buruk terhadap kinerja ekspor Sumut. Pasalnya, nilai ekspor CPO sendiri setidaknya mengambil porsi nyaris 50% dari total nilai ekspor. Tertekannya permintaan dan harga CPO bisa dipastikan bakal menggerus nilai ekspor Sumut secara total. Neraca perdagangan kemungkinan besar akan goyang.
Selain ekspor CPO, kinerja ekspor karet juga dipastikan bakal terganggu dengan harga minyak global itu. Menurut Sekretaris Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Sumut Edy Irwansyah, lemahnya harga minyak mentah membuat produksi karet sintetis akan sangat murah. "Dengan begitu, harga karet sintetis akan murah di pasaran," katanya.
Akibatnya, permintaan terhadap karet akan melemah dan harga semakin seret. Pada perdagangan pekan ini, harga karet malah menyentuh level US$1,1 per kg, terus mengalami penurunan dalam beberapa tahun belakangan.
Sama halnya yang terjadi pada minyak sawit, dengan penurunan permintaan karet itu, maka kondisi ekspor Sumut makin terancam. Nilai ekspor karet sendiri nyaris 20% dari total nilai ekspor Sumut. "Keadaan seperti ini tentu akan sangat merugikan bagi pengusaha maupun petani karet yang ada di Sumut," ungkapnya.
Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor Sumut sepanjang Januari hingga November 2015 mencapai angka US$7,08 miliar. Angka tersebut turun sekitar 18,50% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya yang mencatatkan nilai sebesar US$8,68 miliar. Penurunan nilai ekspor tersebut dipicu oleh kinerja negatif yang dicatatkan ekspor minyak sawit dan karet yang masing-masing mengalami penurunan 20,17% dan 21,49%.
Pengamat ekonomi Sumut M Ishak mengungkapkan pemerintah dan pengusaha tentu harus mencari cara untuk mengatasi masalah ini. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan meningkatkan konsumsi dalam negeri.
Mandatori biodiesel 20% atau B20 benar-benar harus diimplementasikan tahun ini sehingga serapan CPO dalam negeri bisa lebih maksimal. Dengan begitu, suplai untuk pasar ekspor mengalami penurunan dan pasar akan merespon dengan menaikkan harga. "Dengan begitu, ekonomi kita tetap berkembang tanpa tergantung pada pasar ekspor," katanya.
Hal serupa juga bisa dilakukan pada karet. Serapan dalam negeri bisa ditingkatkan dengan menggunakan karet dalam proyek-proyek infrastruktur. Industri hilir karet juga perlu dikembangkan untuk meningkatkan nilai jual.
Hal ini tentu akan membuat pendapatan dari sektor karet lebih tinggi meski volume ekspor berkurang. "Minimal harga karet stabil dan bisa meningkat pada paruh kedua tahun ini," tandasnya.
Sebagai catatan, di awal tahun ini, minyak jenis Brent sudah turun 8% lebih. Pelemahan ekonomi Tiongkok, selaku konsumen minyak terbesar kedua dunia, memicu penurunan harga minyak. Karena konsumsi dari Tiongkok diperkirakan menurun, sementara pasokan melimpah. Saat ini, harga kontrak berjangka minyak jenis Brent turun US$ 2,19 per barel ke US$ 34,23 per barel. Harga Brent sempat menyentuh US$ 34,13, atau terendah sejak Juli 2004.
Para pelaku pasar mengkhawatirkan soal kondisi geopolitik dunia, seperti uji coba nuklir oleh Korea Utara. Sementara ketegangan hubungan Arab Saudi dan Iran diperkirakan hanya berpengaruh sedikit kepada arus distribusi minyak dunia. (daniel pekuwali)
http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2016/01/08/208624/ekspor-sumut-kian-tertekan/#.Vo9xlE9na1s
© Inacom. All Rights Reserved.