Kisah sedih karet Indonesia menjelang 2010
Harga karet dunia terus menunjukkan peningkatan sejak awal 2006. Kenaikan ini diperkirakan terus berlanjut hingga akhir tahun, seiring bertambahnya permintaan dan berkurangnya pasokan dari beberapa negara produsen termasuk Indonesia.
Pada penutupan perdagangan kemarin di Tokyo Commodity Exchange, pasar komoditas yang menjadi patokan sejumlah pelaku pasar global, harga karet untuk pengiriman Desember 2006 mencapai 271 yen per kg (US$2,32) atau turun 1,88% dibandingkan posisi sebelumnya.
Sedangkan pada perdagangan akhir pekan lalu harga karet untuk pengiriman Desember di bursa komoditas Jepang ini naik 5,4 yen atau 1,97% menjadi 279,2 yen per kg.
Harga karet Thailand jenis untuk pengiriman Agustus berkisar antara US$2,35 dan US$2,40 per kg. Karet di Malaysia ditransaksikan pada level harga US$2,40 per kg dan berkisar US$2,26 dan US$2,27 per kg untuk komoditas asal Indonesia.
Seiring dengan berkurangnya pasokan karet dunia, kondisi itu diprediksi terus berdampak pada harga komoditas ini.
Thailand dan Malaysia, penghasil karet terbesar pertama dan ketiga di dunia kini mengalami gangguan produksi akibat musim hujan yang mengguyur negara itu.
Berdasarkan ramalan cuaca, angin La-Nina diprediksi membawa hujan lebat di negara di sejumlah negara di Asia Tenggara. Bahkan hujan tersebut diperkirakan menimbulkan banjir di sejumlah lahan perkebunan di Thailand.
Sementara itu, Indonesia sebagai produsen karet terbesar ketiga dunia juga terancam penurunan produksi akibat kondisi serupa di dua negara itu.
Selain hujan, menurut Ketua Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Daud Husni Bastari, produksi komoditas itu di Tanah Air juga dipengaruhi perubahan bidang usaha petani.
Menurut Data International Rubber Study Group (IRSG), konsumsi karet alam dunia terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2004 konsumsi karet ini mencapai 8,34 juta ton dan terus meningkat menjadi 8,78 juta ton pada akhir 2005.
Berdasarkan pertumbuhan laju konsumsi karet global sekitar 4,7% per tahun, hal ini mengindikasikan kebutuhan komoditas itu akan melonjak menjadi 11 juta ton pada 2010.
Padahal produksi karet pada tahun itu diperkirakan baru mencapai 10,67 juta ton.
Melihat data ini akan terjadi kekurangan pasokan produksi dalam empat tahun mendatang hingga mencapai 321.000 ton.
`Kekurangan produksi ini terjadi karena pertumbuhan permintaan dari negara-negara di kawasan Asia Pasifik lebih besar daripada volume produksi. Khususnya permintaan dari China dan India,` kata Daud.
Genjot produksi
Melihat kondisi ini Indonesia semestinya dapat memanfaatkan momentum itu dengan menggenjot produksi nasional.
Artinya, dengan asumsi nilai ekspor karet hingga akhir 2005 yang mencapai US$2,58 miliar, dengan harga komoditas di bawah US$2 per kg, pada tahun ini pengusaha karet domestik harus dapat memungut hasil lebih mengingat harga komoditas yang telah mendekati level US$3 per kg.
`Dengan peningkatan harga ini, kalau dihitung-hitung dan jika tak ada aral melintang, nilai ekspor karet kita bisa mencapai US$4 miliar.`
Namun sayang seribukali sayang, meski Indonesia memiliki perkebunan karet terluas di dunia, produktivitasnya masih berada pada posisi keempat setelah Thailand, India, dan Malaysia. `Produktivitas kita paling rendah karena banyak kendala yang dialami petani karet.`
Direktur Eksekutif Gapkindo, Suharto Honggokusumo menambahkan pada 1999, Indonesia tercatat memiliki perkebunan karet seluas 3,39 juta hektare. Karena ada komoditas lain yang lebih menguntungkan, lahan karet terpaksa disulap menjadi perkebunan sawit.
Tak heran, karena kondisi ini pada 2004 luas perkebunan karet menyusut menjadi 3,26 juta hektare dan sedikit bertambah pada 2005 menjadi 3,28 juta hektare.
Dari keseluruhan perkebunan karet Indonesia, 84,5% diantaranya bahkan dikuasai oleh petani kecil, sedangkan sisanya sebesar 15,5% dimiliki negara dan perusahaan swasta.
Persoalan yang mengganjal perkembangan produksi karet itu tampaknya juga tidak terlepas dari perhatian pemerintah.
Dari 10 komoditas yang diprioritaskan, karet ternyata tidak masuk dalam kategori yang ditetapkan tersebut.
Selain itu, petani juga mengalami kesulitan biaya dalam hal peremajaan perkebunan. Hal ini bahkan diperparah dengan kurang memadainya sarana transportasi darat, sungai, dan pelabuhan.
Sejumlah kendala belum berhenti sampai disitu. Kondisi lainnya yang juga tidak kalah penting dalam memperburuk kondisi perkebunan karet Tanah Air adalah munculnya sejumlah perda yang menimbulkan biaya tinggi.
Akibatnya, pengembangan industri hilir menghadapi masalah pengenaan PPN (pajak pertambahan nilai) termasuk biaya antidumping terhadap carbon black (semacam bahan pembuat ban).
Cukup menyedihkan petani kita tak lagi menanam karet. Selain prospeknya bagus, nilai sosialnya juga tinggi. Dengan menanam karet, petani setiap hari bisa mendapatkan hasil.
Petani disibukkan dengan kegiatan menyadap karet setiap harinya. Petani tak sempat urbanisasi ke kota. Negara pada akhirnya dapat meraup tambahan devisa. Tapi, karena semuanya tak berjalan sesuai rencana..ya sudahlah.
Sumber: Bisnis Indonesia