03 May 2006
Namun diharapkan perluasan itu tidak mengubah fungsi hutan alam sehingga tidak mengganggu habitat satwa.
Hal itu ditegaskan Aktivis WWF Riau, Suhandri kepada detikcom, Selasa (02/05/2006).
Pernyataan itu disampaikan Suhandri sehubungan diterimanya surat tembusan dari Dirjen Pertanian soal daya saing kelapa sawit Indonesia mendapat tekanan di pasaran internasional dari dampak habitat gajah dikonversi untuk perkebunan sawit.
Menurut Suhandri, pihaknya dalam memberikan keterangan kepada wartawan soal konflik gajah dengan manusia di Riau, sama sekali tidak bermaksud untuk mempengaruhi harga pasaran kelapa sawit tersebut. Pihaknya hanya memberikan data tentang konflik yang tak kunjung teratasi di Riau karena habitat gajah yang terusik.
"WWF tidak pernah menghalangi rencana pemerintah daerah akan perluasan perkebunan sawit untuk menunjang perekonomian secara luas. Hanya saja kita mengharapkan perluasan tersebut tidak mengorbankan kawasan hutan alam," kata Suhandri.
Dia menyarankan, perluasan perkebunan sawit hendaknya benar-benar melihat secara jeli soal fungsi hutan. Selama ini pemerintah Riau mengaku adanya lahan kritis yang mencapai ratusan ribu hektar. Tapi anehnya, ketika lahan kritis ini benar-benar dicari, pemerintah daerah mengaku tidak menemukan hal itu.
"Mestinya, lahan kritis ini bisa dijadikan perluasan perkebunan sawit. Dengan demikian tidak mengganggu habitat gajah. Tapi nyatakan, masih banyak perluasan sawit di Riau justru mengorbankan kawasan hutan alam. Ini jelas mengganggu habitat gajah," katanya.
Sedangkan aktivis WWF lainnya, Nurchalis Fadli mengatakan, isu soal kematian gajah di Riau tidak perlu ditutupi-tutupi. Walau dampak negatif atas pemberitaan itu, justru mempengaruhi harga jual CPO Indonesia dimata internasional sesuai dengan pengakuan Dirjen Pertanian RI.
"Kita tidak bertujuan membuat terpuruk harga minyak sawit di mata internasional. Kita hanya berharap pemerintah bisa benar-benar menegakan hukum yang telah mereka buat sendiri," kata Fadli.
Fadli menilai, selama ini pemerintah pusat dan daerah tidak pernah menegakkan hukum dari status hukum hutan yang telah ditetapkan. Dia mencontohkan, pemerintah telah menetapkan kawasan Hutan Marga Satwa (HMS) Balai Raja di Kabupaten Bengkalis, Riau.
Tapi anehnya, HMS yang memiliki kekuatan hukum sebagai kawasan habitat satwa langka, malah beralihfungsi menjadi perkampungan dan perkebunan sawit.
"Ini menunjukan pemerintah kita sendiri yang tidak konsekuen dalam menjalan status hukum hutan tersebut. Akibatnya, terjadi konflik gajah dengan mansia di sana. Dan kalau terjadi konflik, gajah yang selalu dipersalahkan dan direlokasi dari habitatnya sendiri," kata Fadli.
© Inacom. All Rights Reserved.