03 Mar 2016
TRIBUNNEWS, COM. JAKARTA - Ada sebuah cerita lama yang menarik diungkap tentang cukong-cukong gula di Pontianak
Mereka membiayai pendukung di Entikong Kalimantan Barat, yang berbatasan langsung dengan Malaysia untuk berbelanja gula di negeri jiran.
Malaysia, bukan negara pengekspor gula. Negeri jiran itu mendapatkan gula dari Thailand. Meski warga Entikong mendapatkan gula secara resmi dari Malaysia yang bersumber dari Thailand, harganya masih lebih murah dibandingkan gula yang dihasilkan ratusan pabrik-pabrik gula di Indonesia.
“Hal ini bisa terjadi karena efisiensi pertanian tebu dan produksi gula di Thailand, jauh lebih baik dibandingkan di Indonesia. Ini akan menjadi ancaman bagi produksi tebu dan gula di Indonesia jika MEA berlaku,” kata Sahat M. Pasaribu, Agricultural Economist dari Institut Pertanian Bogor (IPB).
Menurut Sahat, salah satu kunci keberhasilan industri gula di Thailand adalah karena produktivitasnya yang tinggi.
Hal itu membuat rendemen tebunya bisa mencapai di atas 10%. Dengan produktivitas lahan tebu yang tinggi, maka industri gula di Thailand memiliki daya saing yang kuat di pasar gula dunia.
Dari hasil analisis biaya terbukti bahwa biaya produksi gula di Thailand adalah yang terendah di seluruh dunia. Tahun 2011 di Thailand terdapat 47 pabrik gula, menggiling tebu di atas 100 juta ton dan memproduksi gula sekitar 10 juta ton/tahun.
Tahun 2013 produksi tebunya telah meningkat lagi menjadi lebih dari 105 juta ton dengan ekspor mencapai 9,3 juta ton.
Pada 2014 produksi gula Thailand mencapai 11 juta ton dengan angka konsumsi lokal sebesar 2,5 juta ton pertahun.
“Kini Thailand tercatat sebagai salah satu negara eksportir gula terbesar di dunia,” kata Sahat.
Thailand kini jauh meninggalkan Indonesia, yang pernah menjadi penghasil gula nomor dua di dunia tahun 80-an. Kini Indonesia justru menjadi negara pengimpor gula.
Salah satu penyebab rendahnya produksi gula di Indonesia, adalah masalah efisiensi. Khususnya soal tebu, karena rata-rata rendemen tebu di Indonesia hanya berkisar 5-6 persen. Jauh sekali dibandingkan dengan Thailand yang mencapai di atas 10 persen.
Banyak hal yang menyebabkan hal itu terjadi. Misalnya soal lahan tebu yang kini jauh berkurang, sistem irigasi yang belum baik, pupuk yang tidak ekonomis, hingga modal usaha petani yang kurang.
Jika hal itu sudah bisa diatasi, ada pula faktor lain yang menyebabkan inefisiensi produksi tebu ke gula.
Manajemen tanam yang kurang baik terkadang mengakibatkan rendemen tebu yang dihasilkan petani tidak maksimal. Semakin lama tebu kering atau terlambat dipanen, maka hasil rendemennya akan menurun atau tidak maksimal.
“Misalnya soal panen tebu dan transportasi ke pabrik. Sering terjadi, petani tebu menyogok pabrik gula, agar lahannya dipanen duluan agar panenan tebu mereka tidak kering dan rendemennya bagus,” kata Sahat.
Untuk meningkatkan rendemen tebu dan efisiensi dalam proses produksi dari tebu ke gula, maka harus dilakukan terobosan yang dilakukan oleh pemerintah yang bekerja sama dengan swasta.
Mulai dari pemberian kredit, manajemen tanam yang baik, hingga proses panen ke produksi yang optimal.
Belum lagi soal revitalisasi pabrik-pabrik tebu sehingga bisa menghasilkan rendemen yang maksimal dan kapasitas produksinya bisa ditingkatkan.
Jika efisiensi ini sudah bisa dilakukan dengan baik, maka harga pembelian pemerintah (HPP) tebu, bisa diciptakan.
Tentunya HPP tebu ini muncul dengan harga yang menarik bagi petani dan memacu mereka menanam tebu yang akan menghasilkan gula.
Editor: Toni Bramantoro
http://www.tribunnews.com/bisnis/2016/03/02/dari-tebu-ke-gula-kurang-efisien-di-indonesia?page=3
© Inacom. All Rights Reserved.