Berita Terbaru

18 Dec 2017

Ekspor Minyak Sawit Tembus 26,73 Juta Ton

Ekspor Minyak Sawit Tembus 26,73 Juta Ton

JAKARTA - Ekspor minyak sawit nasional sepanjang Januari-Oktober 2017 telah mencapai 26,73 juta ton, melampaui realisasi sepanjang tahun lalu yang sebesar 26,57 juta ton. Ekspor tertinggi terjadi pada Agustus sebesar 3,04 juta ton dan terendah pada Juni 2,24 juta ton. Ekspor tersebut terdiri atas minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO), minyak laurik (lauric oil), oleokimia, dan biodiesel.


Sekjen Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Togar Sitanggang mengatakan, pada Oktober total volume ekspor minyak sawit Indonesia (tidak termasuk biodiesel dan oleokimia) hanya mampu mencapai 2,60 juta ton atau turun sekitar 5,60% dari bulan sebelumnya. Tapi untuk keseluruhan minyak sawit, ekspor nasional sepanjang Januari-Oktober 2017 mencapai 26,73 juta ton. Padahal, sepanjang 2016, total realisasi ekspor minyak sawit hanya 26,57 juta ton, kata dia di Jakarta, kemarin.
 
Sepanjang Oktober 2017, pasar minyak sawit India dan Pakistan lesu yang berimbas pada menurunnya ekspor minyak sawit Indonesia ke kedua negara itu dan turut menyeret turunnya total ekspor minyak sawit Indonesia. Sementara stok minyak sawit Indonesia sampai akhir Oktober tercatat meningkat 16% dari bulan sebelumnya, atau dari 2,92 juta ton pada September membengkak menjadi 3,38 juta ton pada Oktober 2017.
 
Meningkatnya stok minyak sawit di dalam negeri karena produksi yang meningkat dan turunnya kinerja ekspor. Pada Oktober, produksi CPO dan minyak kernel (palm kernel oil/ PKO) meningkat 3% dari September lalu, atau dari 4,03 juta ton meningkat menjadi 4.16 juta tron. Pada Oktober 2017 beberapa negara tujuan utama ekspor Indonesia mencatatkan kenaikan permintaan minyak sawit dari Indonesia, seperti Tiongkok membukukan kenaikan 14% atau dari 370.47 ribu ton pada September menjadi 423,74 ribu ton, diikuti negara:negara Uni Eropa yang naik 18%, Amerika Serikat naik 11%, dan Bangladesh naik 22%.
 
Sementara itu, Pakistan membukukan penurunan permintaan minyak sawit dari Indonesia cukup signifikan, yaitu 32%, atau dari 211,52 ribu ton pada September menjadi 144,26 ribu ton pada Oktober. Penurunan itu karena mulai aktifnya crushing plant di negara tersebut yang memicu tingginya impor kedelai dan kanola, juga karena harga menjadi faktor kuat bagi Pakistan dalam menentukan volume pembelian minyak sawit. India juga mengikuti Pakistan dengan membukukan penurunan permintaan 16%, atau dari 650,75 ribu ton pada September menjadi 544,17 ribu ton pada Oktober.
 
Penurunan permintaan dari India karena harga yang tinggi dan bea masuk India yang tinggi. lndia juga sedang    giat mengisi stok kedelai di dalam negerinya.
 
Dari sisi harga, sepanjang Oktober 2017, harga minyak sawit global bergerak di kisaran US$ 700-735 per metrik ton (mt) dengan harga rata-rata.US$ 719,40 per mt. Harga rata-rata ini turun tipis dibandingkan harga rata-rata September yaitu US$ 724,90 per mt. Di sektor biodiesel, serapan biodiesel di dalam negeri
pada Oktober menurun 4% atau"dari 225 ribu ton pada September turun menjadi 216 ribu ton pada Oktober. Serapan biodiesel di dalam negeri masih konsisten tiap bulannya meskipun ada fluktuasi.
 
Sumber : Investor Daily
 
---------------------------
 
 
Senin 18 Desember 2017
Bea Masuk Memangkas Ekspor CPO
 
Ekspor minyak sawit mentah turun terpengaruh bea masuk impor yang tinggi di India dan upaya Pakistan memacu impor kedelai.
 
JAKARTA. Penerapan bea masuk (BM) impor minyak sawit yang tinggi oleh India berdampak pada ekspor minyak sawit pada bulan Oktober 2017. Menurut data yang dirilis Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), ekspor minyak sawit menyusut setelah India menerapkan bea masuk yang cukup tinggi sehingga harga minyak sawit tidak kompetitif lagi.
 
Penjualan ekspor minyak sawit juga menyusut karena ekspor ke Pakistan juga berkurang. Padahal kedua negara ini merupakan negara tujuan ekspor minyak sawit mentah atan crude palm oil (CPO) terbesar Indonesia selain China.
 
Justru Permintaannya ekspor dari China naik sebesar 14% menjadi 423,740 ton. Sekjen GAPKI Togar Sitanggang mengatakan, total volume pada Oktober 2017 hanya sebesar 2,60 juta ton. Jumlah itu turun 5,6% dibandingkan ekspor Pada September 2017. Rendahnya ekspor ini menyebabkan stok minyak sawit Indonesia naik 16% dari September 2017 menjadi 3,38 juta ton pada Oktober 2017.
 
Menurut Togar, Permintaan minyak sawit Pakistan turun signifikan 32% menjadi 144,260 ton pada Oktober 2017. Penurunan permintaan CPO disebabkan karena Pakistan sedang memacu impor kedelai dan kanola.
 
Sementara untuk ekspor ke India turun 16% menjadi 544,170 ton. "Penurunan ekspor ke India karena faktor BM yang tinggi dan sedang giatnya negara ini mengisi stok kedeIai mereka," ujar Togar kepada KONTAN, Minggu (17/12). Dia bilang penurunan Permintaan telah mempengaruhi pergerakan harga CPO.
 
Saat ini rata-rata harga CPO bergerak di kisaran rata-rata US$ 724.9 per metrik ton. Namun Togar yakin Penurunan permintaan produk minyak sawit di pasar ekspor tidak berlangsung lama. Apalagi kedua komoditas, yakni minyak sawit dan kedelai memang saling mempengaruhi.
 
Bila di satu sisi permintaan kedelai naik, maka berpengaruh pada permintaan minyak sawit yang menurun. Demikian sebaliknya, bila Permintaan minyak sawit meningkat, permintaan kedelai turun.
 
Tak mengkhawatirkan penurunan ekspor CPO pada Oktober 2017 juga dinilai belum pada tahap menghawatirkan. Direktur dan Investor Relation PT Bakrie Sumatera Plantations Tbk Andi W Setianto mengatakan, sejauh ini produksi minyak sawit Perusahaan mereka masih terserap di pasar. "Penjualan CPO dan produk sawit kami semua selalu terserap tanpa masalah," ujar Andi.
 
Bahkan, Andi bilang, permintaan CPO justru terus bertumbuh. Hal itu juga didorong oleh program mandatori Biodiesel-20 (B-20) yang mengharuskan penggunaan campuran CPO 20% sehingga membuat serapan pasar tetap tinggi terhadap produk minyak sawit.
 
Ia bilang, ke depan emiten dengan kode saham UNSP ini juga meyakini penjualan minyak sawit akan terus meningkat. Hal tersebut disebabkan penggunaan minyak sawit sebagai bahan makanan dan bahan bakar semakin tinggi.
 
Andi yakin persaingan produk minyak sawit dengan minyak nabati lainnya akan dapat diatasi. Hal itu terlihat dari produktivitas minyak sawit 2014 yang lebih tinggi dibandingkan kedelai, jagung dan tanaman minyak nabati lainnya.
 
Direktur Eksekutif Dewan Minyak Sawit Indonesia 2015 (DMSI) Iskandar Andi Nuhung menilai, meskipun ekspor CPO pada Oktober turun tapi tidak akan mempengaruhi produksi tahun depan. Ia optimis ekspor CPO tahun depan juga akan kembali menggeliat mengingat kebutuhan masyarakat global akan produk CPO terus meningkat.
 
"Meskipun turun pada Oktober 2017 tapi kami prediksi ekspor CPO tahun ini bisa mencapai 26 juta hingga 28 juta ton,"ujarnya.
 
Sumber : Kontan
--------------------
 
 
Senin, 18 Desember 2017
Malaysia Pangkas Pajak, CPO Bertenaga
Meski Tren Positif, Harga CPO Sulit Menguat Tinggi
 
JAKARTA: Harga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) kembali menguat setelah pemerintah Malaysia menurunkan pajak ekspor untuk Januari 2018. Jumat (15/12), harga CPO kontrak pengiriman Februari 2018 di Malaysia Derivative Exchange melonjak 2,69% ke RM 2.518 per metrik ton. Sepekan terakhir harga CPO sudah naik 1,57% setelah jatuh selama enam minggu beruntun.
 
Padahal, Kamis (14/12) lalu, CPO mencatatkan rekor harga terendah lima bulan terakhir di level RM 2.452 per metric ton. Harga CPO jatuh setelah permintaan minyak sawit mentah melemah. Data survey kargo Intertek Testing Services menunjukkan, ekspor CPO Malaysia periode 1-15 Desember yang mereka tangani turun 9,6% menjadi 596.862 ton dibanding periode yang sama bulan sebelumnya.
 
Tekanan bertambah setelah Malaysia Palm Oil Board (MPOB) mengumumkan persediaan CPO Malaysia hingga akhir November lalu naik 16% menjadi 2,56 juta ton, Ini posisi tertinggi sejak akhir 2015.
 
Peningkatan produksi tak hanya terjadi di Malaysia. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) memprediksi, produksi CPO Indonesia tahun ini naik 15,8% menjadi 36,5 juta ton. Ambruknya harga minyak langsung ditanggapi pemerintah Malaysia dengan menurunkan pajak ekspor CPO bulan Januari menjadi 5,5% dari sebelumnya 6%. Analis Asia Tradepoint Futures Deddy Yusuf Siregar mengatakan, penurunan pajak ekspor ini membuka peluang bagi pemilik perkebunan untuk mengejar produksi jelang Imlek di Februari 2018 mendatang.
 
Memang, secara historis, perayaan Imlek mendatangkan angina segar bagi produsen CPO. Maklum saja, permintaan CPO dari beberapa negara, khususnya China, biasanya membesar jelang imlek.
 
Dengan adanya insentif dari pemerintah negeri jiran ini, diperkirakan pembelian CPO dari negara-negara yang merayakan Imlek akan mulai tampak di awal tahun. Ini membuat transaksi ramai dan rally harga CPO bisa terjadi.
 
Katalis positif juga datang setelah Departemen Agrikultur AS menyatakan akan mengurangi proyeksi stok minyak kedelai global untuk tahun 2017-2018 menjadi 3,25juta ton saja.
 
Penguatan ringgit
Walau mulai diselimuti sentiment positif, harga CPO tak dapat berlari terlalu kencang. Direktur Garuda Berjangka Ibrahim mengatakan, pelaku pasar wajib mewaspadai polensi ringgit yang lerus menguat terhadap dollar Amerika Serikat. Sepanjang November, ringgit berhasil menguat sebesar 3,5%  dihadapan the greenback.
 
Jika nilai tukar ringgit terus menguat ada potensi pasar mengambil langkah profit taking dan selanjutnya malah menekan harga CPO. “Tapi secara fundamental, harga CPO bergerak berdasarkan ekspor dan suplai, sehingga fluktuasi ringgit tak terlalu diperhatikan, " ungkap Ibrahim.
 
Tapi kekhawatiran lanjutan datang dari penurunan ekspor menuju India dan Pakistan. Belakangan, pemerintah Pakistan mulai menggiatkan produksi minyak kedelai dan kanola. Sedangkan India sudah mengerek bea impor untuk mendorong perekonomian dalam negerinya.
 
Ibrahim menganalisa harga CPO hari ini akan kembali menguat dan bergerak di rentang RM 2.516-RM 2.521 per metrik ton. Deddy juga memprediksi penguatan berlanjut. la memprediksi harga CPO bergerak antara RM 2.500-RM 2.530 per metrik ton.
 
Menurut Deddy, secara teknikal, harga CPO berada di bawah moving average (MA) 10, MA 100 dan MA 200 yang menunjukan potensi pelemahan. Sementara, indikator relative strength index (RSI) sudah oversold di area 20.  Indikator stochastic juga sudah memberi sinyal jenuh beli. Hal ini menunjukkan kesempatan rebound besar. Namun indikator moving average convergence divergence (MACD) di area negatif.
 
Sumber : Kontan

Logo KPBN

Contact Us

Jl. Cut Meutia NO. 11, RT. 13, RW. 05, Cikini, Menteng, Kota Jakarta Pusat, DKI Jakarta. Kode Pos. 10330

(021)3106685, (021)3907554 (Hunting)

humas@inacom.co.id

PT. Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara

Social Media

© Inacom. All Rights Reserved.