SNI kakao diusulkan jadi aturan mutu di Asean
Standar Nasional Indonesia (SNI) kakao berpeluang menjadi satu-satunya aturan mutu di Asean untuk ketentuan ekspor komoditas tersebut di kawasan ini.
Direktur Budidaya Tanaman Rempah dan Penyegar Departemen Pertanian (Deptan) Rizki Muis menyatakan dalam pertemuan Asean Cacao Club di Malaysia pada 22-23 Juni 2006, SNI kakao berpotensi ditetapkan menjadi standar ketentuan ekspor di Asia Tenggara.
Menurut dia, Malaysia telah memberi kesempatan kepada Indonesia untuk membicarakan kemungkinan tersebut, di samping memberikan dorongan supaya aturan mengenai kakao yang terdapat di dalam ketentuan SNI dapat diadopsi oleh seluruh anggota Asean.
`Kami sedang membahas sikap Indonesia dalam pertemuan tahunan itu. Selain membicarakan kontrak kakao antarnegara juga akan dibahas aturan mutu, termasuk kemungkinan SNI menjadi satu-satunya aturan,` katanya kepada Bisnis kemarin.
Rizki mengungkapkan di negara Asean selama ini terdapat beberapa aturan mutu kakao, selain SNI di Indonesia, dan ada Standard Malaysian Cacao (SMC) di Malaysia. Menurut dia, dari aturan-aturan yang ada tidak terdapat perbedaan yang terlalu mencolok, baik untuk SNI atau standar negara lainnya.
Ketua Niaga dan Promosi Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) Harlim Wijaya menambahkan secara prinsip dalam satu kawasan harus ada aturan main yang sama. Sebab, lanjutnya, apabila di Asean terdapat aturan bisnis yang baik, hal tersebut akan mendorong meningkatnya perdagangan bilateral.
`Mutu yang diatur dalam SNI itu sudah bagus. Saya harap negara Asean bisa menerima. Perlu ada pembicaraan untuk ini,` ungkapnya.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Industri Coklat Indonesia (APIKCI) Piter Andow mengungkapkan selama ini ekspor kakao asal Indonesia banyak terhambat masuk pasar Amerika Serikat (AS) disebabkan ketatnya aturan mutu yang ditetapkan.
`Jumlahnya ekspor kakao yang ditolak belum besar. Saya tidak tahu angka pastinya. Itu disebabkan mutu yang tidak sesuai,` ujarnya.
Menurut dia, saat ini masalah bioterorism juga patut dicermati oleh para eksportir domestik. Kini, lanjutnya, ancaman tersebut telah membuat kalangan industri kakao nasional khawatir.
Sebelumnya, Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (PPHP) Departemen Pertanian, Djoko Said Darmadjati mengatakan kakao Indonesia di pasar AS selama ini selalu mendapat citra kurang berkualitas dari pembeli setempat, karena tidak berfermentasi.
Dengan citra itu, menurut dia, kakao Indonesia yang diekspor ke AS dikenai diskon US$300 per ton.
`Perlu komitmen bersama sehingga citra buruk tidak terus melekat kepada kakao Indonesia. Kalau kakao tidak berfermentasi tetap ditolerir, maka masalah tersebut tidak akan pernah selesai.`
Untuk merangsang agar kakao Indonesia berfermentasi, perlu adanya premium harga terhadap kakao berfermentasi dibandingkan harga kakao asalan tanpa fermentasi.
Sumber: Bisnis Indonesia