02 Aug 2006
Harga gula pun diprediksi akan terus meningkat dalam 10-20 tahun mendatang.
Tren peningkatan harga gula dunia dalam itu, menurut Ketua Asosiasi Pengusaha Tebu dan Tepung (Apegti) Natsir Mansyur, akan dipicu beberapa hal seperti, pertama, pencabutan subsidi ekspor gula disejumlah negara Uni Eropa.
Kedua, diversifikasi produk gula menjadi etanol oleh Brasil, produsen gula terbesar di dunia. Kondisi ini menyebabkan negara ini menghentikan kebijakan ekspor komoditas itu ke negara lain.
Ketiga, penurunan produksi gula China, sebagai negara pengguna komoditas gula terbesar kedua dunia. Hal ini memicu peningkatan konsumsi komoditas. Untuk memenuhi permintaan, negara ini akan menaikkan volume impor gula.
Keempat, faktor cuaca di Thailand yang dapat memengaruhi musim tanam tebu di negara itu.
"Imbas kenaikan harga akan dirasakan negara-negara importir gula termasuk Indonesia yang selama ini mengalami defisit produksi antara 1 juta dan 1,5 juta ton per tahun."
Masa kejayaan komoditas pertanian tak hanya dirasakan produsen gula. Tapi, oleh pelaku pasar berjangka gula di Tanah Air.
Presiden Direktur PT Asia Kapitalindo Komoditi Berjangka Lie Ricky Ferlianto menyebutkan volume transaksi kontrak berjangka gula meningkat sekitar 15% per bulan sejak awal 2006. Harga gula rata-rata naik 9% per bulan.
"Kalau terjadi kenaikan harga, nasabah cenderung bertransaksi mengambil keuntungan dari selisih harga itu."
Lonjakan konsumsi
Terkait dengan konsumsi gula global data Departemen Pertanian AS menyebutkan permintaan komoditas itu terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Pada periode 2003/2004 pertumbuhan konsumsi gula dunia rata-rata mencapai 1,48% per tahun dibandingkan dengan periode 2002/2003 sebesar 1,21%.
Di antara 10 besar negara konsumen gula, AS, India, dan Brasil menduduki posisi sebagai pengguna gula terbesar dengan rata-rata pertumbuhan konsumsi pada 2004 masing-masing, 4,81% (9,11 juta ton), 3,61% (21,5 juta ton), dan 3,53% (9,98 juta ton).
Negara lain seperti Indonesia juga memberi kontribusi pertumbuhan konsumsi sekitar 1,47% atau setara 3,45 juta ton per tahun.
Namun, angka ekspor gula dunia mengalami penurunan yang cukup besar. Sepanjang tahun ekspor gula dunia pada 2004 mencapai 8,49%, jika dibandingkan dengan 2003 yang justru tumbuh 14,31%.
Sementara itu, angka ketergantungan terhadap impor gula masih tinggi. Pada periode 1998-2002 persentase angka ketergantungan impor itu mencapai 47% per tahun, naik pesat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Angka ini diperkirakan terus meningkat hingga tahun ini.
Lalu bagaimana dengan ketergantungan impor gula domestik. Pada 2001, impor gula Indonesia juga tidak jauh berbeda dengan sejumlah negara lainnya. Volume pembelian komoditas itu mencapai 1,5 juta ton atau 50% dari kebutuhan domestik.
Pada Juni 2006 impor komoditas itu terus meningkat menjadi 1,8 juta ton dengan konsumsi gula nasional mencapai 4,1 juta ton. Sedangkan sisa permintaan lainnya dipasok sejumlah produsen lokal.
Sementara itu, negara-negara penghasil gula seperti Thailand memiliki kondisi yang berbanding terbalik dengan Indonesia. Menurut catatan kantor Kedutaan Besar RI di Bangkok, saat ini Thailand menjadi salah satu pengekspor gula terbesar di dunia.
Negara ini pada 2000 memproduksi tebu hingga mencapai 49 juta ton dan menghasilkan 5,1 juta ton gula. Namun, seiring perkembangan teknologi produksi komoditas negara ini terus meningkat. Dalam semester I/2006, Thailand telah capai 4,33 juta ton.
Lalu, bagaimana dengan ketergantungan impor Indonesia? Kondisi ini boleh jadi merisaukan. Ketika harga gula dunia meroket, bisa-bisa rasa penganan jadi tak manis lagi.
© Inacom. All Rights Reserved.