Produsen Biodiesel RI Cari Pasar Baru
JAKARTA — Produsen biodiesel Indonesia tengah mencari negara tujuan ekspor baru setelah terhentinya perdagangan komoditas itu ke Amerika Serikat sejak 2017. Padahal, Kementerian Perdagangan (Kemendag) mencatat nilai ekspor biodiesel Indonesia ke pasar Amerika Serikat (AS) pada 2016 sebesar US$255,56 juta atau menyumbang 89,19% dari total ekspor komoditas itu ke seluruh dunia.
Beberapa waktu lalu, United States Department of Commerce (USDOC) mengumumkan keputusan final countervailing duty (CVD) atau bea masuk imbalan produk biodiesel impor asal Indonesia antara 34,45% — 64,73%. Putusan tersebut lebih kecil dibandingkan dengan bea masuk imbalan sementara yang dikeluarkan Agustus 2017 berkisar antara 41,06% — 68,28%.
Ketua Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan menjelaskan bahwa para pebisnis memang telah menghentikan ekspor ke AS sejak 2017. Pasalnya, harga produk asal Indonesia kalah bersaing dengan biodiesel produksi Negeri Paman Sam.
Paulus mengungkapkan kapasitas terpasang produksi biodiesel Indonesia mencapai 12 juta kiloliter (kl) per tahun. Namun, jumlah serapan domestik hanya sebesar 3 juta kl dalam setahun.
Dengan perbandingan tersebut, sambungnya, hasil produksi biodiesel hanya terserap 25% di dalam negeri. Oleh karena itu, para produsen kini tengah mencari pasar tujuan ekspor yang baru.
“Tentunya kita terus mencari pasar yang baru semisal China dan India,” ujarnya kepada Bisnis, Senin (20/11).
Dia menjelaskan bahwa ekspor diperlukan untuk mendongkrak kinerja industri biodiesel di dalam negeri. Indonesia dapat memperoleh nilai tambah dengan mengekspor hasil industri hilir sawit.
“Untuk itu kita perlu ekspor jika tidak maka kinerja industri akan rendah dan akan berdampak terhadap efisiensi, harga, tenaga kerja, dan lain-lain,” imbuhnya.
Di sisi lain, Paulus menyebut para pelaku usaha akan melakukan banding ke Federal Court atas putusan akhir bea masuk imbalan produk biodiesel RI. Langkah itu sejalan dengan upaya pemerintah yang juga akan mengajukan banding ke forum World Trade Organization (WTO).
Direktur Pengamanan Perdagangan Kementerian Perdagangan (Kemendag) Pradnyawati sebelumnya menjelaskan bahwa Indonesia telah mengikuti seluruh prosedur terkait penyelidikan tuduhan subsidi yang dilayangkan AS.
Pemerintah dan para pelaku usaha juga telah menyampaikan pendapatnya dalam hearing yang diselenggarakan oleh United States International Trade Commission (USITC) pada awal November 2017.
“Secara prosedural kita sudah tempuh semua langkah termasuk meeting dengan dua perusahaan asal Indonesia yang dituduh. Kami sepakat untuk mengajukan banding ke Federal Court dan WTO,” ujarnya.
Pradnyawati menjelaskan bahwa Indonesia telah menyampaikan sanggahan untuk seluruh tuduhan subsidi yang dilayangkan. Pemerintah telah menekankan bahwa poin-poin yang masih disangkakan oleh AS tidak tepat.
Terkait subsidi Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) misalnya, dia telah memastikan kepada otoritas AS bahwa hal itu bukan merupakan bentuk subsidi yang diberikan oleh pemerintah. Pasalnya, dana yang dikumpulkan berasal dari produsen sawit yang digunakan untuk keperluan penanaman kembali serta pembiayaan selisih harga biodiesel dan solar.
Menurut catatan Bisnis, 90% ekspor biodiesel produk biodiesel asal Indonesia dikirim ke Negeri Paman Sam. Total volume ekspor RI ke seluruh negara pada 2015 dan 2015 masing-masing sebesar 206.000 ton dan 373.500 ton.
Seperti diketahui, pengenaan bea masuk tambahan berawal saat National Biodiesel Board (NBB) Fair Trade Coalition serta 15 produsen biodiesel AS lainnya mengajukan petisi terkait produk asal Indonesia dan Argentina pada 23 Maret 2017. Petisi itu berisi dua poin utama dan diklaim sebagai hasil investigasi yang berlangsung selama 2014-2016.
Pertama, Indonesia dan Argentina melakukan tindakan subsidi dan dumping harga untuk biodiesel yang dipasarkan di AS. Kedua, meminta Pemerintah AS melakukan inisiasi tindakan anti subsidi dan anti dumping dengan melakukan investigasi.
Sumber : Bisnis Indonesia