23 Sep 2015
Sudah dua kali tender tetapi sulit bagi Pertamina memenuhi pengadaan biodiesel atau Fatty Acid Methyl Ester (FAME). Padahal, jumlah biodiesel yang dibutuhkan Pertamina cukup tinggi mencapai 5,3 juta kL selama dua tahun. Kebutuhan ini hampir mendekati kapasitas terpasang biodiesel di Indonesia yang mencapai 5,6 juta kL.
“Memang, kendala yang dihadapi adalah formula harga tender sehingga mempersulit pengadaan biodiesel Pertamina,” kata Ali Mundakir, Vice President Communication Pertamina.
Di tahap pertama, berdasarkan data yang diperoleh SAWIT INDONESIA, hasil tender pengadaan biodiesel berjumlah 1.237.069 kL yang dimenangkan lima perusahaan. Mereka antara lain Darmex Biofuels, Musim Mas, PT Pelita Agung Agri Industries (Permata Hijau Grup), PT Eterindo Wahanatama Tbk, dan PT Indo Biofuels Energy.
Berikutnya di tender jilid kedua, Pertamina mengikat kontrak dengan dua perusahaan yaitu Wilmar Grup dan PT Primanusa Palma Energi. Kebutuhan FAME yang dapat terserap 1.161.800 kL. Total penyerapan dari tender pertama dan kedua sudah mencapai 2.398.869 kL.
Ali Mundakir menuturkan Pertamina menggunakan patokan harga Mid Oil Platts (MOPS) solar sebagaimana yang diarahkan oleh pemerintah. Saat ini, formula harga tender yang dipakai adalah MOPS minus diferensial selama jangka waktu kontrak produsen biodiesel.
Dengan pertimbangan, kata Ali Mundakir, harga MOPS FAME selalu diatas MOPS solar seperti yang terjadi di tahun lalu. “Makanya tidak mungkin kami beli biodiesel sebagai subtitusi dari solar kalau harganya jauh lebih mahal,” papar lulusan Universitas Brawijaya ini.
Bagi asosiasi produsen biofuel, pemilihan formula harga MOPS solar ini bertentangan dengan aturan pemerintah. Sebagaimana tertuang Kepmen ESDM 3053/2011 mengenai harga indeks pasar bahan bakar nabati (biofuel) yang dicampurkan dalam bahan jenis minyak tertentu, sebelumnya Kepmen ESDM 0219/2010.
Penetapan harga indeks pasar dilakukan setiap bulan oleh Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian ESDM. Perumusan Harga Indeks
Pasar (HIP) berdasarkan kepada Harga Patokan Ekspor (HPE) biodiesel minyak sawit dari Kementerian Perdagangan. Sebelum adanya mandatori, HPE inilah yang digunakan sebagai referensi harga untuk pencampuran biodiesel kepada BBM subsidi dan PLN yang ditanggung lewat mekanisme subsidi.
Paulus Tjakrawan, Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI) menegaskan formula harga tender FAME ini tidak merujuk kepada harga indeks pasar seperti yang sebelumnya digunakan dalam penentuan harga jual biodiesel.
Menurutnya, penggunaan harga indeks yang berdasarkan HPE ini dipakai untuk pembelian biodiesel dan solar subsidi. Tetapi dengan model harga tender oleh Pertamina artinya harga indeks tidak menjadi rujukan lagi. “Kalau begitu inikan sudah melanggar regulasi,” kata Paulus Tjakrawan kepada SAWIT INDONESIA.
Dengan menggunakan skema tender, produsen biodiesel beranggapan Pertamina ingin membeli FAME berdasarkan harga termurah. Sebab mekanisme tender mempersyaratkan calon pemasok untuk mengajukan harga penawaran. Selanjutnya, harga ini pun tidak akan berubah sampai masa kontrak berakhir.
Rida Mulyana, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, mengatakan tidak ada aturan yang dilanggar dengan mekanisme harga MOPS solar tersebut. Alasannya, pengadaan biodiesel oleh Pertamina atau badan usaha lain bersifat business to business. Sementara itu, pemerintah mengatur harga indeks pasar yang merupakan dasar pemberian subsidi BBN kepada Pertamina. Skema harga indeks pasar ini ditujukan kepada PSO saja.
Ditambahkan Rida, dengan menggunakan harga maksimum MOPS maka tidak ada subsidi BBN dari pemerintah.
Menurut Paulus Tjakrawan, kalau niatnya untuk menekan impor solar dan membantu negara lewat kebijakan biosolar bersubsidi sebenarnya kalangan produsen tidak keberatan dengan skema harga tender. Tapi yang terjadi Pertamina menyerap biodiesel produsen untuk dijual lagi ke sektor non subsidi atau non PSO.
“Kalau Pertamina suplai ke non subsidi, sebaiknya memakai harga yang sewajarnya. Jangan mau untung sendiri,” keluh Paulus.
Ketika redaksi SAWIT INDONESIA meminta konfirmasi soal reviu ulang harga tender biodiesel. Karen Agustiawan, Direktur Utama Pertamina, dan Ali Mundakir, VP Corporate Communication Pertamina tidak menjawab SMS dan telepon sampai berita ini diturunkan.
Efek domino pun terjadi akibat skema harga MOPS yang dipakai Pertamina. Perusahaan pemegang izin usaha niaga BBM lain seperti Shell, mengikuti pola Pertamina sehingga posisi produsen semakin sulit. “Kalau ini terjadi akibatnya margin kami makin tertutup,” ujar Paulus.
Paulus Tjakrawan menuturkan harga MOPS yang dipakai Pertamina berada di bawah keekonomisan harga jual biodiesel. Akibatnya, perusahaan kurang bersemangat untuk mengikuti tender biodiesel Pertamina karena faktor harga tersebut.
Yang mencemaskan ketika harga CPO sedang naik seperti sekarang ini berimbas kepada beban biaya produksi produksi biodiesel. Immanuel Sutarto, Direktur Utama PT Eterindo Wahanatama Tbk, menuturkan biodiesel di Indonesia sekarang ini semua memakai bahan baku dari produk turunan CPO yaitu RBD Palm Oil. Ketika harga CPO naik jelas akan berpengaruh terhadap biaya produksi biodiesel yang ikut meningkat. Belum lagi, industri biodiesel memerlukan bahan pendukung lain dalam pembuatan biodiesel seperti metanol.
Togar Sitanggang, Manager Senior Musim Mas Grup, mengakui produsen biodiesel terpengaruh dengan naiknya harga CPO yang terjadi saat ini. Asumsinya, harga RBD Palm Oil, produk turunan CPO, sekarang di level US$ 930 per metrik ton, ditambah dengan bea keluar sekitar US$15 per metrik ton. Sampai ke pabrik biodiesel, harga RBD Palm Oil sudah sekitar US$ 915 per metrik ton. Bahan baku ini diproses kembali untuk menjadi FAME akan menghabiskan biaya sebesar US$ 150 per metrik ton. Sehingga,total biaya produksi biodiesel mencapai US$ 1.065 per metrik ton. “Tapi harga MOPS solar dari Pertamina sebesar US$ 888 per metrik ton,” keluh Togar.
Ditengah naiknya harga minyak sawit dunia pihak yang paling dirugikan adalah produsen biodiesel tanpa kebun sawit. Sebab, kata Paulus, mereka sudah memperoleh harga tender sesuai kontrak tender. Tetapi membeli bahan baku sesuai harga yang berlaku di pasar. Tak hanya itu saja, investasi di sektor biodiesel juga tertunda di tahun ini.
Ada beberapa perusahaan berencana tambah kapasitas produksi tetapi menunda sementara waktu. Total investasi yang tertunda sampai tahun ini diperkirakan 700 ribu kL. Padahal dengan tambahan investasi ini diharapkan total kapasitas produksi biodiesel mencapai 6,3 juta kL. pada tahun ini.
Dadan Kusdiana, Direktur Bioenergi Kementerian ESDM, menyarankan produsen biodiesel membangun perkebunan sawit sendiri terutama bagi yang tidak disokong kebutuhan bahan baku CPO dari internal.
“Ke depan, arahannya produsen biodiesel itu harus punya pasokan minyak sawit sendiri. Paling sekarang tinggal dua atau tiga perusahaan yang belum punya. Ya, buat calon investor yang tidak punya kebun mending tak perlu masuk, karena mestinya mereka sudah harus siap,” kata Dadan Kusdiana.
Tetap MOPS
Sikap keberatan produsen terhadap mekanisme MOPS solar tidak mengubah kebijakan Pertamina. Ali Mundakir menyatakan tender ketiga pengadaan biodiesel sudah disiapkan dari Maret sampai April 2014. Mekanisme harga tetap menggunakan harga MOPS solar. “Kami sudah dimandatkan oleh pemerintah pakai harga MOPS,” ujar Ali
Sedikit berbeda dengan tender sebelumnya, Pertamina bersedia menanggung biaya pengiriman biodiesel lewat mekanisme Free on Board (FOB). Tujuannya, kata Ali Mundakir, menyelesaikan hambatan produsen terkait biaya angkutan untuk memasok wilayah Indonesia Timur dan permintaan yang rendah.
Sebagai contoh pelaksanaan FOB, kata Ali Mundakir, biodiesel akan dibawa ke tempat pengumpulan yang berada di Makasar. Setelah dari situ, produsen akan membawanya kembali ke lokasi terminal bahan bakar minyak.
“Tapi, Pertamina mempersyaratkan besaran biaya transportasi tidak boleh lebih tinggi dari biaya angkut Solar Pertamina,” kata Ali Mundakir dalam rilisnya.
Tender ulang ini ditargetkan menyerap 850 ribu kL. Setelah dua tahapan tender dijalankan, Pertamina mendapatkan kepastikan suplai FAME sebesar 2,4 juta kL. Hal ini dilakukan guna memenuhi kebutuhan sebanyak 5,3 juta kL dalam 2 tahun.
Dadan Kusdiana mengatakan lelang ketiga ini untuk menyelesaikan kebutuhan biodiesel pada 2014. “Sisa waktu pasok 9 sampai 10 bulan untuk tahun ini,” kata Dadan.
Pada tender ketiga, pasokan biodiesel yang dilelang antara lain 115 ribu kl per tahun di Sumatera, 28 ribu kl per tahun Nusa Tenggara, 335 ribu kl per tahun wilayah sebagian Kalimantan dan Sulawesi, dan 372 ribu kl per tahun untuk sebagian wilayah Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.
Selain itu, Pertamina menyiapkan fasilitas penyaluran bahan bakar nabati atau biodiesel di 44 stasiun pengisian bahan bakar minyak di seluruh Indonesia. Dari 44 fasilitas tersebut akan melengkapi 33 terminal lain yang sudah menyalurkan biodiesel.
"Status penyiapan terminal sebagian besar telah rampung. Di wilayah Indonesia bagian timur ditargetkan selesai akhir Juni 2014," ujarnya dalam siaran pers.
Ke-44 terminal tersebut 19 unit berlokasi di Sumatera, tujuh di Jawa, satu di Bali, satu di Kupang, delapan di Kalimantan, enam di Sulawesi, dan dua di Papua.
Sementara, 33 terminal biodiesel yang sudah ada berada di Sumatera sembilan unit, Jawa 18 unit, dua di Bali, dan empat di Kalimantan.
Regulasi terpadu
Seretnya pengadaan tender pertama dan kedua membuat pemerintah berencana untuk mengkaji lagi formula harga beli biodiesel. Dadan Kusdiana menyatakan belajar dari lelang di kedua tahapan tadi apabila harga kurang menarik bagi produsen. Tetapi hasil kajian formula baru harga tender baru diimplementasikan pada tender di tahun 2015.
Paulus Tjakrawan mendukung rencana pemerintah yang mereviu harga tender biodiesel. Usulan dari asosiasi supaya memakai formula yang terdiri dari harga bahan baku plus biaya proses ditambah margin dan transport. Alternatif lainnya adalah harga indeks dapat saja mengacu ke referensi apapun termasuk solar MOPS. “Tetapi harus diatur peraturan pemerintah yang sifatnya terpadu dari hulu hingga hilir. “Selain itu, Kementerian ESDM tetap konsisten memperjuangkan harga indeks BBN yang telah dipakati oleh tim harga BBN,” kata Paulus.
Supaya regulasi tadi berjalan baik,syarat lainnya adalah dibutuhkan menteri khusus yang bertugas mengkoordinasikan seluruh kebijakan biodiesel. Dengan pertimbangan, kata Paulus, pemerintah harus sadar bahwa seluruh kebijakan ini melibatkan banyak instansi terkait mulai dari Kementerian Pertanian, Kementerian Perindustrian, Kementerian ESDM, dan Kementerian Lingkungan Hidup. (Qayuum Amri)
© Inacom. All Rights Reserved.