KPBN News

Kebijakan subsidi pertanian AS persulit Indonesia

Produk pertanian Indonesia dan negara berkembang sulit menembus pasar komoditas itu di AS akibat kebijakan subsidi pertanian mereka, yang tahun ini US$18 miliar per tahun dan menolak usulan penurunan hingga 46%.
Bahkan, kata Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (P2HP) Departemen Pertanian Djoko Said Damardjati, pemerintah AS merencanakan untuk menaikkan subsidi pertanian tersebut menjadi US$22 juta dalam lima tahun mendatang.

`Pemerintah AS menolak usulan negara-negara berkembang untuk menghapuskan subsidi ekspor atas produk pertaniannya sebaliknya justru akan meningkatkannya,` ujar dia di sela-sela presentasi Indonesia Paviliun pada Royal Flora 2006 Chiang Mai Thailand 1 November 2006-31 Januari 2007, di Jakarta, kemarin.

`Pemerintah AS tidak mau menurunkan subsidi pertaniannya, sesuai permintaan dari negara lain, karena mereka ingin melakukan perlindungan terhadap sektor ini,` katanya.

Menurut Djoko, dalam forum WTO Indonesia pernah meminta AS melakukan penurunan subsidi ekspor produk pertanian hingga 46%, namun tidak mendapat tanggapan sehingga akhirnya menemui jalan buntu dalam perundingan.

Jika AS menurunkan subsidi ekspor pertaniannya, tambahnya, maka harga produk pertanian mereka akan meningkat sehingga pertanian Indonesia bisa bersaing dengan mereka.

`Dengan demikian mereka tidak bisa seenaknya melakukan ekspor produk pertaniannya dengan harga yang lebih rendah,` katanya.

Dia mengatakan AS selama ini selalu mendorong liberalisasi perdagangan dunia kepada negara-negara berkembang melalui penurunan tarif impor tapi secara diam-diam negara itu melakukan subsidi ekspor pertaniannya hingga US$18 miliar per tahun.

Oleh karena itu menurut dia, Indonesia bersama-sama negara berkembang lainnya secara kompak akan menurunkan bea masuk impor, asalkan AS juga bersedia menurunkan subsidi ekspor pertanian.

Djoko menyatakan, AS memberikan subsidi susu US$2 per liter, sehingga produk itu menjadi murah ketika masuk ke Indonesia akibatnya produk dalam negeri kalah bersaing, padahal mutunya tidak kalah baik.
Sumber: Bisnis Indonesia