10 Apr 2017
Dr. Ir. Wahyu Bahari Setianto, M.Eng., peneliti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) meneliti pemanfaatan minyak inti sawit sebagai bahan pengawet makanan dan emulsifier gliserol mono-laurat. Sebab, minyak inti sawit dinilai belum dimanfaatkan secara maksimal untuk memenuhi kebutuhan industri nasional.
Wahyu Bahari bersama rekan-rekannya membuat penelitian ini semenjak 2015. Tahun berikutnya, penelitian ini memperoleh bantuan pendanaan riset yang diselenggarakan BPDP Kelapa Sawit. Tim riset terdiri Ir. Tri Yogo Wibowo, MT, Ir. Didi Dwi Anggoro, M.Eng, Ph.D, Heryoki Yohanes, ST, Fatim Illaningtyas, S.TP., M.Si, dan bantuan mahasiswa Teknik Kimia Universitas Diponegoro.
“Kami memilih minyak inti sawit (palm kernel oil) karena produk turunannya belum banyak diolah di dalam negeri. Sementara itu sebagian besar diekspor dalam bentuk minyak inti sawit saja. Berdasarkan hasil analisa minyak inti sawit banyak mengandung asam laurat, sekitar 50%. Asam laurat ternyata bisa dimanfaatkan atau diolah lebih lanjut menjadi produk turunan asam laurat yang bernilai tinggi,” kata Wahyu ketika dihubungi Sawit Indonesia.
Dengan kandungan asam laurat sebesar itu, kata dia, minyak inti sawit bisa dapat diolah sebagai bahan pengawet makanan dan emulsifier. Emulsifier merupakan bahan tambahan untuk menyatukan bahan makanan yang mengandung air dan minyak seperti es krim, mayonaise dan produk olahan lainnya.
Dalam prosesnya, minyak inti sawit dihidrolisa menghasilkan beberapa asam lemak diantaranya asam laurat. Asam laurat kemudian dipisahkan dari asam lemak lainnya dengan menggunakan proses fraksinasi. Selanjutnya, asam laurat direaksikan dengan gliserol hingga menghasilkan gliserol mono-laurat (GML) yang berfungsi sebagai emulsifier dan juga pengawet makanan.
“GML dapat berfungsi sebagai emulsifier karena dua atom karbon dari gliserol memiliki gugus hidroksil yang aktif untuk memberikan karakter hidrofilik, yang sering disebut sebagai grup kepala. Unsur gliserol bisa membentuk ikatan hidrogen dengan air pada lingkungan yang mengandung air dan sering disebut sebagai grup kepala. Rantai hidrokarbon memberikan karakter hidropobik pada GML dan sering diberi istilah ekor. Adanya dua karakter yang berbeda hidropilik dan hidropobik pada GML menyebabkan GML digolongkan sebagai surfaktan dan dapat digunakan sebagai bahan pengemulsi pada campuran air dan minyak,” jelas dia.
Secara umum, tahapan-tahan riset ini melalui tahapan observasi katalis, dealuminasi katalis, esterifikasi asam laurat dengan gliserol, analisa hasil reaksi dan analisa kemurnian produk (kandungan GML). Riset ini merupakan pengembangan penelitian berdasarkan referensi berbagai jurnal, dengan modifikasi sesuai dengan kondisi di lapangan.
Menurutnya, tahapan observasi katalis merupakan tahapan tersulit yang butuh pendanaan besar dalam menentukan jenis katalis serta memodifikasi katalis yang digunakan pada sintesa GML ini. “Kita sempat terkendala dalam melakukan penelitian ini pada tahapan observasi katalis, walaupun pada tahapan berikutnya tidak ada kendala yang serius.” papar dia.
Lebih lanjut, produk emulsifier dan pengawet makanan berbahan dasar sawit ini punya keunggulan dibandingkan produk emulsifier lainnya. Produk emulsifier yang dijual di pasaran hanya berfungsi sebagai pengawet makan atau emulsifier saja. Sedangkan produk yang diteliti Wahyu Bahari dan timnya berfungsi ganda menjadi emulsifier dan pengawet makanan secara bersamaan.
Menurutnya, di negara Eropa, Amerika atau Jepang misalnya, komunitas yang menghindari produk hewani, baik alasan agama maupun orang vegetarian, sudah menjadi “ritual rutin” untuk memeriksa komposisi makanan yang dibeli. Salah satu yang menjadi fokus perhatian konsumen adalah asal emulsifier, apakah berasal dari tumbuhan atau hewan. Alasannya, untuk menghindari produk hewani, guna memastikan kehalalannya, memperhatikan aspek kesehatan (alergi) maupun gaya hidup vegetarian.
https://sawitindonesia.com/rubrikasi-majalah/inovasi/pengawet-makanan-dan-emulsifier-berbasis-minyak-inti-sawit/
© Inacom. All Rights Reserved.