12 May 2006
Namun, sejumlah masalah dinilai masih menghambat perkembangan industri ini. Seperti diterbitkannya berbagai peraturan daerah yang memberatkan para pengusaha sektor hulu. Dampaknya, investasi bagi pengembangan perkebunan sawit tidak berjalan dengan baik. Yang pada gilirannya dapat mengurungkan niat para investor asing menanamkan dananya.
Di antaranya perda yang memungut retribusi, seperti Perda No. 56/2002 mengenai kontribusi pengusaha perkebunan kepada Pemkab Pelalawan ditetapkan Rp1 per kg TBS (tandan buah segar). Juga di Kabupaten Kampar, Perda No. 22/2000 mengenai sumbangan pihak ketiga yang dituangkan dalam satu perjanjian khusus.
Pungutan ini juga diungkapkan oleh Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Derom Bangun. Dia membenarkan adanya sejumlah pemda di Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi mengeluarkan perda untuk memungut retribusi atau pajak dari perkebunan kelapa sawit.
Menurut dia, daerah yang menjadi sentra perkebunan kelapa sawit, berlomba membuat perda untuk mendapatkan dana tambahan dari sektor perkebunan. "Perda tersebut sangat memberatkan pengusaha, sehingga niat investor untuk mengembangkan usaha perkebunan sedikit mengendur," ujarnya kepada Bisnis beberapa waktu lalu.
Bibit palsu
Persoalan lain yakni adanya peredaran bibit kelapa sawit palsu yang tergolong tinggi di Riau. Tidak saja perusahaan perkebunan yang mengalami kerugian, tapi petani juga terimbas. Kerugian akibat bibit palsu ini hingga ratusan miliar rupiah setiap tahun.
Dinas Perkebunan Riau menyebutkan terdapat empat tempat penangkaran bibit sawit yang diduga kuat menjadi bagian dari peredaran bibit palsu. Penangkaran itu tidak saja dimiliki perusahaan, tapi juga dimiliki perorangan. Lokasinya berada di sebuah perguruan tinggi di Pekanbaru.
"Kami terus melakukan penyelidikan mengenai peredaran bibit kelapa sawit palsu dan saat ini telah mendapat bukti awal ada empat tempat penangkaran bibit sawit yang diduga menjadi bagian dari peredaran bibit sawit palsu," ujar Kepala Dinas Perkebunan Riau Humizri Husin.
Hingga saat ini, menurut temuan Dinas Perkebunan Riau, telah dilakukan pemusnahan terhadap 50.000 bibit sawit palsu yang berhasil disita. Selain itu, pada 16 April lalu juga dimusnahkan 10.000 bibit sawit palsu hasil temuan dari sebuah perguruan tinggi di Pekanbaru. Menurut dia, sudah ada tersangka pemalsuan bibit sawit yang diproses secara hukum di Polda Riau.
Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki) Riau Joko Supriyono mengakui potensi pengembangan industri hilir kelapa sawit di Riau terkendala oleh regulasi dan komitmen untuk menjadikan sawit sebagai nilai tambah salah satu komoditas unggulan di Indonesia .
"Potensi industri hilir memang menjanjikan apalagi jika melihat perkembangan produksi sawit Riau. Hingga sekarang Gapki mencatat dalam bentuk CPO, Riau mampu memproduksi hampir 3,8 juta ton per tahun dengan luas areal saat ini mencapai 1,4 juta ha," katanya.
Namun, potensi tersebut tidak diimbangi dengan dukungan kebijakan yang jelas dari pemerintah. Sehingga potensi terkesan belum menunjukkan kemudahan bagi pengusaha untuk melakukan investasi.
Karena itu, menurut Joko, dibutuhkan fundamental industri kelapa sawit terutama pada penguatan di industri hulu. Jika sudah kuat, dengan sendirinya industri hulu secara langsung akan mendukung pengembangan di sektor hilir.
Pimpinan Bank Indonesia Pekanbaru Mahmud menyebutkan hingga saat ini belum ada kebijakan yang jelas dari pemerintah untuk pengembangan perkebunan sawit terutama berkaitan dengan pengembangan industri hilir.
"Untuk pengembangan industri hilir kelapa sawit, pemerintah diharapkan membuat regulasi yang dapat memacu pengembangan usaha kelapa sawit seperti perizinan, jaminan kepastian hukum, hak atas tanah dan pembangunan infrastruktur yang menunjang," jelasnya.
Selain itu, lanjutnya, komitmen lembaga pembiayaan, pelaku bisnis dan sinkronisasi antara pengembangan industri hulu dan hilir merupakan poin pokok untuk mendukung pengembangan industri hilir kelapa sawit di Riau.
Jika instrumen tersebut bisa terealisasi dan berjalan dengan baik, tentunya industri sawit Riau sebagai komoditas unggulan, mampu menciptakan lapangan kerja. Selain itu membangkitkan ekonomi desa, mendatangkan devisa lebih besar, dan penyedia bahan baku bagi industri lain.
BI mencatat, dari pengembangan itu selain dapat mengurangi ketimpangan pendapatan antara golongan masyarakat kota dan kabupaten, juga menciptakan multiplier effect hingga mencapai Rp 2,48 miliar, karena setiap satu rupiah akan menambah perputaran uang sebesar Rp2,48.
Pola pengembangan
Produksi minyak sawit sangat memungkinkan untuk dikembangkan menjadi produk turunan yang lebih bernilai tambah tinggi. Upaya pemanfaatan minyak menjadi produk turunan itu merupakan upaya strategis yang mesti diperhitungan.
Sejalan dengan itu, Riau menjajaki peluang ini bersama pemkab, yang menjadikan industri hilir sebagai pilihan prioritas pembangunan ekonominya.
Riau tergolong provinsi yang memungkinkan pengembangan industri hilir kelapa sawit, karena ketersediaan bahan baku dan memiliki luas areal perkebunan kelapa sawit terluas di Indonesia. Pada 2004 luas areal mencapai 1,4 juta ha dengan produksi CPO sebesar 3,5 juita ton. Juga didukung 131 unit pabrik kelapa sawit (PKS) dan Pabrik Kernel Oil (PKO). Volume ekspor kelapa sawit mencapai 2,8 juta ton dengan nilai sebesar US$1,1 juta. Daya serap tenaga kerja mencapai 571.500 orang di seluruh kabupaten dan kota.
Saat ini, Riau mengupayakan lahan produktif dimanfaatkan seperti melakukan redistribusi aset. Selain itu, perluasan usaha di bidang perkebunan dengan mengembangkan jalinan kerja sama antara masyarakat dengan pengusaha sawit.
Dengan pola demikian, menurut Asisten II Pemprov Riau Herlian Saleh, masyarakat akan memiliki lahan sawit dan melibatkan perbankan melalui sistem kredit. Pembangunan PKS bagi petani dan masyarakat diharapkan mengurangi kesulitan, khususnya harga kelapa sawit.
Pengembangan kawasan indusri hilir kelapa sawit, menurut Herlian, sejalan dengan program Pemda Riau merealisasikan rencana dibukanya beberapa kawasan industri. Di antaranya Kota Dumai sebagai kawasan free trade zone (FTZ), Kuala Enok, dan pengembangan pelabuhan Buton di kabupaten Siak.
"Industri hilir harus disiapkan dengan baik, agar bahan baku seperti CPO bisa memberikan nilai tambah lainnya. Kami akan mengupayakan pemberian insentif bagi investor di bidang ini," tambahnya.
© Inacom. All Rights Reserved.